TRIBUNSUMSEL.COM, MARTAPURA – Harga gas LPG 3 kilogram atau yang akrab disebut "gas melon" kembali menjadi keluhan utama masyarakat di Desa Tulang Bawang, Kecamatan Bunga Mayang, Kabupaten OKU Timur, Sumsel.
Gas bersubsidi yang semestinya menjadi penopang kebutuhan rumah tangga masyarakat menengah ke bawah ini, kini justru berubah menjadi beban ekonomi harian.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 19/KPTS/IV/2025, Harga Eceran Tertinggi (HET) gas LPG 3 kg ditetapkan sebesar Rp18.500 per tabung.
Namun realita di lapangan jauh berbeda. Warga mengaku harus merogoh kocek lebih dalam, karena harga gas melon kini tembus di kisaran Rp28.000 hingga Rp 30.000 per tabung.
Kelangkaan dan lonjakan harga ini tidak hanya membuat kesulitan ekonomi bertambah, tetapi juga memunculkan kecemasan akan keberlanjutan hidup sehari-hari.
"Sudah hampir dua minggu ini saya keliling ke beberapa warung, susah sekali dapat gas. Kalau pun ada, harganya sudah tidak masuk akal. Biasanya saya beli sekitar Rp22 ribu, sekarang minta Rp30 ribu. Mau tak mau saya beli, karena dapur harus tetap ngebul," keluh Rina, ibu rumah tangga di Desa Tulang Bawang, Kecamatan Bunga Mayang, Minggu (06/07/2025).
Baca juga: Tambah 138 Ribu Tabung, Pertamina Patra Niaga Sumbagsel Pastikan Stok LPG Aman Selama Libur Panjang
Baca juga: Antrean Mengular, Warga Serbu Operasi Pasar LPG 3 Kg Murah di Musi Rawas, Dijual Rp18.500 per Tabung
Rina menambahkan, kondisi ini membuat dirinya harus berhemat dalam memasak.
Ia bahkan terpaksa membatasi pemakaian gas hanya untuk kebutuhan utama saja, seperti memasak nasi dan lauk sekali sehari.
Warga lainnya, Andi Saputra, seorang buruh harian, juga mengungkapkan keresahannya.
Ia menilai ada permainan harga di tingkat pengecer yang tak terkendali, dan itu merugikan rakyat kecil seperti dirinya.
"Ini bukan pertama kali gas naik. Tapi kali ini terasa sekali dampaknya karena sulit juga didapat. Saya curiga ada yang menimbun atau sengaja menaikkan harga seenaknya. Harusnya ada pengawasan dari pemerintah, jangan dibiarkan seperti ini. Kami ini kerja serabutan, penghasilan pas-pasan. Kalau gas saja semahal ini, gimana kami bisa hidup tenang?" ujarnya dengan nada kecewa.
Banyak warga menduga bahwa kenaikan harga dipicu oleh ulah oknum pengecer yang mengambil keuntungan terlalu besar, ditambah lemahnya pengawasan dari pihak terkait.
Situasi ini diperparah dengan tidak adanya transparansi distribusi, sehingga celah permainan harga mudah terjadi.
Kondisi ini memicu desakan kepada pemerintah daerah dan instansi terkait untuk segera turun tangan.
Masyarakat berharap adanya penertiban distribusi, pengawasan harga di tingkat pengecer, serta penindakan terhadap pihak yang bermain curang dalam distribusi gas melon.