Berita Nasional

Ahmad Dhani Peringatkan Fadli Zon Soal Tulis Ulang Sejarah Indonesia, Bukan Berdasarkan 'Katanya'

Penulis: Aggi Suzatri
Editor: Weni Wahyuny
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PERINGATAN AHMAD DHANI- (KIRI) Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon diwawancarai usai diskusi publik Sastra Mendunia di Gedung Kementerian Kebudayaan, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/6/2025). (KANAN) Ahmad Dhani Melaksanakan Kunjungan Reses Perorangan pada Masa Persidangan I Tahun 2024-2025. Musisi sekaligus anggota DPR RI, Ahmad Dhani semprot rencana Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon soal penulisan ulang sejarah Indonesia.

TRIBUNSUMSEL.COM - Musisi sekaligus anggota DPR RI, Ahmad Dhani turut menyoroti rencana Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon soal penulisan ulang sejarah Indonesia.
 
Diberitakan sebelumnya, menurut Fadli, penulisan ulang sejarah saat ini sangat diperlukan karena pada penulisan sejaran yang sudah saat ini belum memuat sejarah lanjutan dari era Presiden ketiga BJ Habibie.
 
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sampai meminta Fadli Zon menghentikan penulisan ulang sejarah Indonesia lantaran menimbulkan polemik baru di masyarakat jika terus dilanjutkan.

Baca juga: Fadli Zon Bereaksi Saat Didesak Minta Maaf soal Pemerkosaan Massal 1998: Silakan Saja Beda Pendapat

PERINGATAN AHMAD DHANI- Musisi sekaligus anggota DPR RI, Ahmad Dhani memperingatkan Fadli agar tidak sembarangan menulis ulang sejarah.

Hal itu senada dengan Ahmad Dhani yang tampaknya tak sepakat dengan rencana yang digagas Fadli Zon.

Melalui unggahan Instagramnya Jumat, (4/7/2025), suami Mulan Jameela ini memperingatkan Fadli agar tidak sembarangan menulis sejarah.

Dhani menyebut penulisan sejarah Indonesia tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan "perasaan" maupun "katanya".

"Nulis SEJARAH tidak boleh menggunakan PERASAAN Dan SENTIMEN," tulis keterangan uggahan Ahmad Dhani.

Dhani pun menjabarkan kepada Fadli bahwa sejarah tertulis berdasarkan dokumen yang kredibilitas dan bukan dari media sosial.

"To: Fadli Zon

Tulis SEJARAH berdasarkan 
1. DOKUMEN 
(Dari Instansi Kredible)

2. ARTEFAK

3. MEDIA CETAK NASIONAL
(Bukan dari Youtube-Blog-Twitter-IG-TikTok)
(Bukan juga dari Media Gosip)

BUKAN BERDASARKAN :

1.Katanya Katanya
2. Konon
3. Pernyataan Sepihak," tulisnya.

Lebih lanjut, Ahmad Dhani menuturkan bahwa Negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan warga Indonesia.

"Negara punya kewajiban mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perlu diingat : Rata rata IQ 78 sulit membaca kata-kalimat apalagi Diksi," tandasnya.

Legislator PDIP Desak Fadli Zon Hentikan Rencananya

Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Mercy Chriesty Barends, meminta secara tegas kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk menghentikan rencana penulisan ulang sejarah.

Menurutnya, jika diteruskan hal ini akan menimbulkan luka bagi banyak masyarakat Indonesia.

"Sejarah punya dialektika untuk berbicara bagi rakyat Indonesia. Kami percaya daripada diteruskan dan berpolemik, mendingan dihentikan (penulisan ulang sejarah). Kalau Bapak mau teruskan, ada banyak yang terluka di sini,” kata Mercy yang juga merupakan Wakil Rakyat Dapil Maluku dalam Rapat Kerja bersama Kementerian Kebudayaan, Selasa (2/7/2025), dilansir dari Tribunnews.com.

FADLI ZON - Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon, saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025). Fadli Zon didesak menyampaikan permintaan maaf oleh Koalisi Masyarakat Sipil imbas pernyataannya yang mempertanyakan adanya pemerkosaan massal Mei 98. (Tribunnews.com/ Fersianus Waku)

Lebih lanjut, dalam kesempatan itu, Mercy pun membawa dokumen resmi mengenai kasus perkosaan 1998.

Hal ini merujuk pada pernyataan Fadli Zon yang mempertanyakan kejadian perkosaan massal pada Mei 1998.

"Saya datang dengan tiga dokumen resmi yaitu hasil temuan TGPF, kemudian dokumen hasil temuan dari special rapporteur PBB, dan dokumen membuka kembali 10 tahun pascakonflik yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan,” tutur Mercy.

Secara lantang, dia menyampaikan bahwa dirinya terluka dengan pernyataan Fadli Zon mengenai isu perkosaan Mei 1998 yang menolak diksi Terstruktur, Sistematis dan Massive (TSM) dan massal.

Mercy menegaskan, pernyataan tersebut agak di luar nalar dan tidak sensitif terhadap korban dan keluarga korban, tidak sensitif gender dan keberpihakan terhadap penegakan HAM.

Dari dokumen yang ada nyata kekerasan seksual hanya ditargetkan kepada perempuan-perempuan dari unsur etnis tertentu.

Lebih lanjut kata Mercy, terhadap diksi TSM dan massal terbantahkan karena telah ada pengakuan negara yang disampaikan Presiden Habibi saat itu yang mengutuk keras peristiwa kerusuhan 98 saat itu dan menyatakan bahwa peristiwa kerusuhan 98 adalah pelanggaran HAM berat, termasuk di dalam perkosaan yang jumlahnya massive.

 Dilanjutkan dengan membentuk Komnas Perempuan melalui Keputusan Presiden no 181/1998 dan Instruksi Presiden untuk membentuk TPGF terkait Kerusuhan Mei 98.

Baca juga: Alasan Ahmad Dhani Buat Konten "Kompilasi Gibah dan Fitnah Maia Estianty", Geram 2 Anak Kena Dampak

Mercy berpendapat, bersifat TSM karena karakter kekerasan seksual yang terjadi tidak sporadik menyerang siapa saja tetapi sistematis dan terstruktur ditargetkan hanya pada satu etnis tertentu.

Diksi masal menjadi relatif bukankah dengan lebih dari 152 kasus memberi gambaran nyata bersifat massif?

"Satu kasus bagi kami aktivis perempuan sudah terlalu banyak untuk kategori kekerasan bersifat pelanggaran HAM berat.

Selain itu, sebagai aktivis perempuan yang ikut bergabung dalam Tim Dokumentasi Komnas Perempuan atas Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dalam kerusuhan Maluku 1999-2001, bersama aktivis perempuan dari Aceh dan Papua dia telah menjadi saksi sejarah dari kejadian kelam yang terjadi di Indonesia."

“Saya pada saat kerusuhan Maluku 1999-2001 termasuk dalam tim pencari fakta Komnas Perempuan dan mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan selama masa konflik. Kita bertemu yang dari Papua, Aceh dan sebagainya.

 Tidak satu pun korban berani untuk menyampaikan kasus kekerasannya karena pada saat itu mengalami represi yang luar biasa. Hal yang sama juga terjadi saat kerusuhan 1998,” tegasnya.

"Kami berproses bersama Komnas Perempuan, termasuk penyusunan huridoc atau human right documentation, kami susun bersama-sama dengan Komnas Perempuan pada saat itu," ujarnya.

Lebih lanjut Mercy menjelaskan ke Tim media ketika para aktivis perempuan dari daerah konflik tiba di Jakarta, dokumen TPGF dan data-data kasus kekerasan seksual Mei 98 masih panas dibicarakan ditambah lagi dengan dokumen-dokumen testimoni dari Aceh, Papua dan Maluku  membuat traumatis mendalam bagi kita para aktivis saat itu.

"Sehingga, jangan pernah menggeser dan mereduksi fakta kekerasan menjadi sekedar kekerasan seksual perorangan semata. Jadi kalau kemudian Pak Menteri mempertanyakan kasus pemerkosaan dan massal dan seterusnya, ini cukup sangat amat melukai kami,” papar Mercy. 

Dia menekankan bahwa banyak aktivis perempuan yang sampai harus meregang nyawa untuk mendapatkan fakta dari kejadian kelam di Indonesia. Tekanan dan ancaman juga dikatakan telah menjadi hal yang dialami oleh Mercy.

“Pada saat kami bertemu beberapa aktivis perempuan pada saat itu yang dari Aceh ada yang ditembak pada saat itu. Bapak, kami dalam tekanan dan ancaman.

Sehingga kemudian Bapak mempertanyakan dan Bapak seperti meragukan kebenaran (peristiwa kekerasan seksual Mei 1998), ini amat sangat menyakiti, menyakiti, menyakiti kami,” jelasnya. 

Mercy pun sangat berharap permintaan maaf dari Fadli Zon terkait dengan kejadian ini. Menurutnya data mengenai kejadian perkosaan Mei 1998 secara lengkap ada di Komnas Perempuan dan bisa diakses oleh publik. 

“Bapak kalau misalnya ini (masih tidak percaya) bapak bisa langsung datang ke Komnas Perempuan. Data kerusuhan 1998, kasus kekerasan seksual Maluku, Papua, Aceh dan sebagainya ada di sana, saya saksi sejarahnya,” ujar Mercy.

Klarifikasi Fadli Zon

Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon angkat bicara terkait kritikan yang dilontarkan terhadapnya terkait penulisan ulang sejarah Indonesia. 

Menurut Fadli, penulisan ulang sejarah saat ini sangat diperlukan karena pada penulisan sejaran yang sudah saat ini belum memuat sejarah lanjutan dari era Presiden ketiga BJ Habibie. 

"Terakhir sejarah kita itu ditulis tentang era Pak Habibie," kata Fadli Zon dalam rapat kerja Komisi X DPR yang disiarkan secara daring lewat Tv Parlemen, dikutip Kompas.com, Kamis (3/7/2025).

Fadli mengatakan, saat ini belum ada tulisan mengenai sejarah Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden kelima Megawati Soekarnoputri.

Kemudian era Presiden keenam dan ketujuh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden kedelapan dan kesembilan Joko Widodo (Jokowi).

"Jadi (dahulu sejarah) ditulis oleh Direktorat Sejarah yang dulu, (direktorat itu) sempat hilang sekarang baru ada (lagi) di Kementerian Kebudayaan," ujarnya. 

Fadli menjelaskan, nantinya Direktorat Sejarah akan menulis sejarah Indonesia yang sudah laman tidak terbarukan.
 
Padahal, menurut Fadli sejarah adalah bagian penting dari jati diri bangsa dan harus diketahui oleh generasi muda saat ini dengan era kecepatan sosial media.

"Menurut saya ini (sejarah) penting untuk kita angkat dan didiskusikan. Sangat terbuka untuk didiskusikan karena kalau tidak kita (Indonesia) akan kehilangan jati diri," ungkapnya.

Fadli melanjutkan, nantinya sejaran yang ditulis akan memuat semua hal yang telah terjadi di Indonesia dan beberapa temuan sejarah yang baru ditemukan.

Ia juga menegaskan, penulisan ulang sejarah Indonesia tidak akan fokus sepenuhnya pada peristiwa kerusuhan 1998 dan yang akan diceritakan hanya inti-inti atau snapshot penting dari peristiwa.

"Memang buku sejarah ini tidak membahas Mei 1998 itu hanya satu snapshot," jelas Fadli Zon.

(*)

Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News  

Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com

Berita Terkini