TRIBUNSUMSEL.COM - Sejumlah orang tua murid meluapkan kekecewaannya terhadap Yayasan Al Kareem Islamic School kota Bekasi yang kini sudah disegel dilarang kegiatan belajar mengajar.
Mahal-mahal wali murid menyekolahkan anaknya di sekolah swasta elite tersebut, ternyata bodong alias melanggar prosedur.
Diketahui, untuk biaya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) per bulannya, orang tua murid harus mengeluarkan uang sebesar Rp2-5 juta.
Sementara, biaya uang pangkal biayanya sebesar Rp 23 juta hanya untuk pendaftaran.
Baca juga: Penderitaan Guru Sekolah Elite di Bekasi Resign Massal, Diperlakukan Bak ART hingga Gaji Dipotong
Al Kareem Islamic School membuka jenjang pendidikan untuk, Preschool (Playgroup): Toddler Class (usia 2–3 tahun) dan Nursery (usia 3–4 tahun).
Kindergarten (TK): Kindergarten 1 atau K1 (usia 4–5 tahun) dan Kindergarten 2 atau K2 (usia 5–6 tahun),
Serta, Primary (SD): Grade 1 atau setara kelas 1 SD (usia 6–7 tahun). Total jumlah siswa saat ini tercatat sebanyak 39 orang.
Alih-alih mendapatkan pendidikan yang layak seperti yang dijanjikan sejak awal, orang tua siswa harus menelan pil pahit.
Salah satu wali murid, Silvia Legina (30) mengaku merasa ditipu karena anaknya tak mengalami kemajuan dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM).
"Makanya dengan biaya yang menurut saya mahal itu kami kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan," ujar Silvia, dilansir dari Kompas.com.
Silvia mengatakan, penerapan sistem kegiatan belajar mengajar (KBM) yang sebelumnya dijanjikan berbasis kurikulum Cambrigde, ternyata tak sesuai.
"Jadi Cambridge itu tidak kami dapatkan atau tidak sesuai dengan materinya," kata Silvia.
Selain kurikulum, puluhan wali murid juga mengeluhkan penerapan metode pembelajaran yang tak sesuai standar seperti pada mata pelajaran bahasa Inggris dan agama.
Semula, para wali murid dijanjikan anak-anaknya akan mendapatkan pembelajaran bahasa Inggris.
Jika sudah menguasai, anak-anak mereka dijanjikan akan mendapat pembelajaran dari para guru menggunakan bahasa Inggris sepenuhnya.
Namun dalam praktiknya, para pengajar ternyata hanya menggunakan bahasa Indonesia.
"Lalu dari agamanya pun pelajarannya juga kurang, tidak ada hafalan (surat Al Quran)," ungkap Silvia.
Baca juga: Awal Mula Terbongkar Sekolah Elite di Bekasi Bodong usai 3 Tahun Beroperasi, Tak Terdaftar Dapodik
Sama halnya dengan yang dirasakan wali murid lainnya, Nurhaliza (33) yang kecewa sekaligus terkejut dengan melihat di depan mata kalau sekolah anaknya tiba-tiba berhenti operasi tanpa pemberitahuan karena tidak adanya lagi guru.
"Maksudnya sia-sia waktu saya, kenapa gini, harusnya kan di WhatsApp (WA) sayanya kalau misalnya emang tidak ada progres lagi sekolahnya," kata Nurhaliza.
Padahal Nurhaliza menjelaskan dirinya hanya mendapatkan informasi dari email untuk anaknya datang ke sekolah pada Senin (16/6/2025) guna mengikuti ujian susulan.
Sebab anaknya sempat sakit dan kemudian diminta untuk mengikuti ujian susulan.
"Minggu lalu anak saya sakit, jadi tidak masuk, Minggu lalu sempat ujian, nah disuruh susulan ujian hari ini, tapi ya gitu digembok (Sekolahnya) tidak bisa masuk, padahal udah pakaian lengkap anak saya," jelasnya.
Akan tetapi, begitu sampai ternyata sekolah berhenti beroperasi dan pagar digembok.
Nurhaliza menuturkan, sebelum dikagetkan dengan sekolah yang tiba-tiba beroperasi, dirinya sempat menyimpan rasa curiga terhadap sistem pelayanan pembelajaran.
Kecurigaan terjadi saat dirinya dijanjikan fasilitas konseling dari psikolog untuk anaknya yang sekolah di tempat tersebut.
Namun, kenyataannya, janji itu palsu atau tidak terealisasi.
"Jadi saya selama anak saya sekolah di sini tidak pernah ketemu psikolog," tuturnya, melansir Warta Kota.
Nurhaliza mengaku sangat kecewa karena janji konseling dengan psikolog tidak terealisasi.
Selain karena sudah meluangkan waktu, dirinya dan suami sudah mengeluarkan biaya untuk fasilitas tersebut hingga nominal jutaan rupiah.
“Saya bayar Rp5,5 juta untuk aktivitas nursery dan Rp5,4 juta tuition fee per tiga bulan, belum termasuk uang pangkal Rp7,3 juta," ujarnya.
Nurhaliza berharap pihak pengelola sekolah dapat bertanggung jawab dengan mengembalikan uang orang tua siswa.
"Sebaiknya bertanggung jawab pihak sekolah dan kembalikan uang yang sudah terlanjur bayar, saya juga masih ada uang pangkal di sekolah ini udah kebayar Rp7,3 juta," harapnya.
"Kami merasa dirugikan dan meminta pihak sekolah mengembalikan uang bagi orang tua yang memilih tidak melanjutkan,” tegasnya.
Tak Terdaftar di Dapodik
Sementara itu, Sekretaris Disdik Kota Bekasi Warsim Suryana membenarkan sekolah tersebut terindikasi bodong karena menggelar KBM tak sesuai prosedur.
"Iya bisa kami nyatakan itu sekolah bodong," kata Warsim.
Warsim menjelaskan bahwa sekolah tersebut dikategorikan bodong karena tak mendaftarkan nomor induk siswa nasional (NISN) ke Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Selain itu, kegiatan pembelajaran yang diterapkan juga tak sesuai dengan kurikulum yang dijanjikan.
"Di mana sekolah tersebut sebelumnya menjanjikan kurikulum berbasis Cambrigde, nyatanya tidak," ungkap dia.
Baca juga: Iming-iming Sekolah Elite di Bekasi Janjikan Kurikulum Cambridge Ternyata Bodong, Wali Murid Ditipu
Atas dasar tersebut, pihaknya pun menyegel sekolah agar tidak menerima siswa baru dan menggelar KBM.
Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bekasi lantas menyegel sekolah swasta Al Kareem Islamic School di Jalan Baru Perjuangan, Bekasi Utara, pada Selasa (17/6/2025).
Yayasan Janji Tanggung Jawab
Diwakili, Pengacara Mario Wilson Alexander, Al Kareem Islamic School mengakui ada kesalahan.
Namun pihak sekolah tetap bertanggung jawab atas kerugian yang dialami sejumlah pihak.
"Tempat ini (Sekolah) disegel karena ada kesalahan yayasan, dan yayasan akan tetap bertanggung jawab setiap masalah yang ada," kata Mario dikutip Wartakotalive.com, dari Rabu (18/6/2025).
Mario menjelaskan kesalahan yang dilakukan pihak yayasan adalah masalah keuangan.
Namun ia tidak merincikan masalah keuangan tersebut.
"Dalam hal ini kesalahan yayasan adalah keuangan, tapi memang ada sesuatu hal yang bisa diekspos dan ada yang tidak bisa diekspos," jelasnya.
Mario menuturkan tanggung jawab yang akan dilakukan pihak sekolah antara lain mengikuti prosedur perbantuan masuk sekolah oleh Pemkot Bekasi.
"Saya sudah meeting dengan pihak Disdik ranah PAUD, anak-anak yang masa sekarang ini sudah mau ke SD akan dibantu karena sudah habis PK pendaftarannya dan akan dibantu untuk masuk ke sekolah, yayasan akan mengikuti arahan selanjutnya dari Disdik," tuturnya.
Dia menyampaikan pihak yayasan akan menjual aset sebagai bentuk tanggung jawab.
Pengembalian uang kepada orangtua akan dilakukan jika aset rampung dijual.
"Untuk kerugian yang dirasakan dan dialami oleh orangtua murid itu semua yayasan akan menjual aset semuanya dan akan menggantikan, nantinya akan mengganti uang orangtua murid," ucapnya.
Selain itu, menurut dia, pihak sekolah juga akan bertanggung jawab atas tunggakan gaji para guru.
"Semuanya akan dibayarkan (gaji) karena ijazahnya yang kemarin sudah ditahan sudah dikembalikan semua, jadi clear ijazah ditahan tidak ada," tegasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Disdik Kota Bekasi Warsim Suryana menjelaskan, penyegelan dilakukan agar sekolah tersebut tidak menerima siswa baru maupun menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar (KBM).
"Tujuan penyegelan agar tidak menerima siswa baru, dan tidak menggelar KBM, kami segel," ujar Warsim, dikutip dari Kompas.com
Ia mengatakan sekolah swasta itu dinyatakan bodong karena tidak mendaftarkan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) ke sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik), yang merupakan basis data resmi pendidikan nasional.
Selain itu, pengelola juga terbukti tak merealisasikan iming-iming kegiatan belajar mengajar (KBM) berbasis kurikulum Cambrigde.
"Di mana sekolah tersebut sebelumnya menjanjikan kurikulum berbasis Cambridge, nyatanya tidak," ujar Sekretaris Disdik Kota Bekasi itu.
Diketahui, sekolah tersebut menggelar pendidikan untuk jenjang sekolah dasar (SD) dan taman kanak-kanak (TK).
Selain itu, sekolah tersebut juga membuka kelas inklusi yang diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus.
Berawal Sejumlah Guru Mendadak Resign
Resign massal yang dilakukan tujuh orang guru dibuktikan dengan lembaran kertas yang ditandatangani di atas materak oleh seluruh guru dan kepala yayasan sekaligus diduga menjabat kepala sekolah.
Usai resign massal itu dilakukan, pihak guru mengaku sudah tidak berkomunikasi sedikitpun dengan kepala yayasan
"Sejujurnya dari per Juni itu kami sudah lost contact, tepatnya 13 Juni itu lost contact dalam artinya memang tidak mau komunikasi saja," kata Guru Salsabila Syafwani.
Salsabila menuturkan informasi resign massal pihaknya rupanya tidak diberitahu oleh kepala yayasan kepada seluruh orangtua murid.
Bahkan pihak guru tidak lagi bisa atau diperkenankan berkomunikasi oleh kepala yayasan kepada orangtua murid melalui akun email sekolah yang sebelumnya kerap difungsikan untuk wadah komunikasnya.
Mengingat akun email sekolah tersebut sudah diganti password, dan para guru tidak mengetahuinya.
"Kami juga sudah kehilangan akses untuk memberitahukan informasi kepada parents (orangtua murid), jadi kami tidak tahu-menahu lagi untuk memberitahukan hal tertentu kepada parents," tuturnya.
Seorang guru, Salsabila Syafwani, mengatakan, cara-cara kepala yayasan yang juga kepala sekolah memperlakukan para guru seperti asisten rumah tangga (ART) membuat ia bersama rekan guru lainnya menjadi resah.
"Kami kan dikontrak sebagai staf pendidik, tapi terkadang kami tuh diberikan jobdesk di luar tugas kami sebagai guru, jadi kadang masalahnya di situ aja sih," kata Salsabila saat diwawancara Senin (16/6/2025).
I a juga mengatakan dirinya da guru lain sempat mengalami nunggak dan pemotongan gaji dengan nominal Rp 700 ribu per bulan.
Anisa Dwi Zahra, guru lainnya, menjelaskan, dia bersama guru-guru lainnya diperlakukan mirip pembantu rumah tangga.
"Saya pernah disuruh belanja kebutuhan rumah tangga, nganter jemput anak beliau. Jadi banyak job desk yang tidak sesuai dengan tugas kami, jadi kita tuh disuruh jalani job desk kayak ART-nya mereka," jelas Anisa, Senin (16/6/2025).
Bahkan kata Anisa, dirinya sempat diminta membeli ayam goreng untuk anak pemilik yayasan dan lokasinya pun cukup jauh.
"Saya pernah disuruh membeli ayam goreng jauh-jauh ke Jatiasih, padahal ayam goreng di sekitar sini (Bekasi Utara) kan juga ada, Saya sudah komplain, kenapa beli jauh-jauh, terus dari pihak yayasan tidak tahu alasannya apa, akhirnya ya saya jalanin aja," tuturnya.
Meskipun kerap diberikan uang tambahan, namun Anisa tetap keberatan dengan perlakuan kepala yayasan tersebut.
"Dapat uang bensin, tapi keberatan karena jauh sih, jarak dari sini ke tempat ayamnya itu kan lumayan jauh," ucapnya dengan wajah cemberut.
Tenaga pelajar lainnya, Raihan Tri Wahyudi, menegaskan setiap hari sebelum bekerja, ia selalu diminta ke rumah pemilik yayasan terlebih dahulu untuk mengantar anaknya sekolah.
"Setiap hari sebelum bekerja, harus ke rumah beliau (pemilik yayasan) untuk mengantar anak-anaknya berangkat sekolah," ucapnya.
Raihan mengatakan dirinya berat hati menolak permintaan pemilik yayasan karena menyadari dirinya berstatus karyawan.
"Untuk biaya tambahan saya cuma dapat gaji selama kerja di kantor sebagai staff education tapi saya bekerja kebanyakan di rumah beliau (pemilik yayasan) mengantar anak-anaknya ke sekolah, ke tempat les, dan belanja itu saya," tutur Raihan.
(*)
Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News
Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com