TRIBUNSUMSEL.COM -- Stigma di masyarakat masih sangat kental terkait dengan peringkat kelas atau rangking kelas di sekolah.
Terkadang siswa yang rangking kelas begitu dipuja. Sebaliknya siswa yang biasa biasa saja tak dianggap, bahkan timbul sikap minder di dalam diri anak.
Ranking bagaikan dua mata pisau dimana sisi negatif dan positifnya berjalan beriringan. Ranking bisa memotivasi siswa untuk menghadirkan sisi terbaik dirinya, tetapi ranking juga dapat menyiksa batin siswa di sekolah.
Hadirnya stigma “si peringkat satu adalah yang paling pintar” membuat siswa berlomba-lomba untuk mendapatkannya.
Alasannya sederhana, yakni bercita-cita ingin diakui sebagai ‘yang paling pintar’ atau dengan alasan demi membanggakan orang tua lalu mengejar kedudukan tersebut dengan berbagai cara.
Lebih parahnya lagi banyak orang tua siswa yang memaksakan ego mereka agar anaknya menjadi si peringkat satu di kelas. Hal ini tentu memberikan tekanan tersendiri kepada siswa.
Dari beberapa contoh kasus di atas, siswa dan orang tua siswa terkadang lupa bahwa fungsi sekolah yaitu sebagai tempat siswa menimba ilmu dan menjadi wadah untuk mengembangkan kemampuan diri.
Mengapa ranking kelas bukan ukuran mutlak kecerdasan seorang murid?
Dikutip dari blog.kejarcita.id Menurut Howard Gardner dalam karyanya yang berjudul “Intelligence Reframed: Multiple Intelligences”, kecerdasan manusia dibagi menjadi 9 bentuk.
Gardner memandang bahwa kecerdasan tidak hanya berdasarkan skor standar penilaian kecerdasan, tetapi juga kemampuan manusia untuk memecahkan sebuah permasalahan dalam kehidupan.
Sembilan bentuk kecerdasan tersebut antara lain:
Pertama, kecerdasan logika-matematika, Kemampuan yang mampu dalam menalar dan menghitung, menyukai konsep teka-teki ,dan bermain dengan logika.
Kedua, kecerdasan linguistik. Kemampuan berbahasa dan mengolah kata-kata secara efektif.
Ketiga, kecerdasan interpersonal. Kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain dan suka pergaulan yang luas.
Keempat, kecerdasan intrapersonal. Kemampuan dalam memahami diri sendiri dengan bijaksana, intuisi, serta dapat memotivasi diri sendiri.
Kelima, kecerdasan musik. Kemampuan dalam membedakan nada, ritme maupun timbre.
Keenam, kecerdasan kinestetik-jasmani. Kemampuan menggunakan tubuh secara efektif dan suka bergerak.
Ketujuh, kecerdasan visual-spasial. Kemampuan dalam menggambar. Pembelajaran mereka akan sangat efektif jika menggunakan gambar maupun alat peraga yang dapat dilihat secara langsung
Kedelapan, kecerdasan naturalis. Kemampuan untuk peka terhadap alam, menyayangi hewan dan suka akan tumbuh-tumbuhan.
Kesembilan, kecerdasan eksistensial. Kemampuan untuk peka terhadap asal usul, arti hidup dan mati.
Kecerdasan di atas merupakan kecerdasan majemuk. Setiap anak akan memiliki beberapa kecerdasan yang berbeda dengan teman – temannya. Misalnya, anak yang memiliki kecerdasan linguistik, juga memiliki kecerdasan spasial dan interpersonal, tetapi memiliki kelemahan dalam bidang logika-matematika.
Oleh karena itu, kecerdasan anak tidak hanya dapat diukur dari satu tes tertentu saja seperti yang diterapkan di sekolah formal.
Kesempatan menjadi ‘pintar’ kadang dikekang dengan adanya standar penilaian yang dibuat oleh sistem.
Apabila seorang anak tidak mencapai standar tersebut, maka orang tua akan kebingungan untuk memberikan les tambahan maupun menuntut anaknya untuk lebih giat belajar.
Beberapa standar nilai akan menguntungkan bagi anak-anak yang memiliki kecerdasan tersebut yang sesuai dengan standar tersebut.
Anak yang memiliki kecerdasan matematika akan sangat senang mengerjakan ujian matematika. Namun, anak yang kurang dalam kecerdasan matematika tentu akan mendapat kesulitan.
Orang tua perlu mengetahui bahwa kecerdasan majemuk bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mendidik dan memahami bakat anak – anak.
Kecerdasan yang tidak hanya unggul dalam satu bidang saja, tetapi pada bidang-bidang lain juga. Dengan begitu, kita tidak akan mematikan potensi-potensi anak.
Masih dikutip dari laman yang sama, tidak selamanya materi pelajaran hanya bisa didapatkan di kelas
Ruang kelas itu seluas samudra. Kelas itu bukan hanya bangunan balok atau kubus berukuran 7 x 7 atau 8 x 8 meter persegi yang memiliki pintu masuk dan jendela-jendela, melainkan tempat untuk beraktivitas dan belajar.
Manusia memiliki hakikat untuk belajar seumur hidupnya, sehingga ruang kelas untuk belajar pun sesungguhnya tidak memiliki ukuran tertentu.
Setiap lingkungan adalah ruang belajar. Setiap tempat bisa menjadi kelas. Tak terbatas hanya pada dinding – dinding sekolah saja. Bisa jadi, suatu pelajaran yang disukai anak ternyata tidak tersedia di kelas formal pada umumnya.
Banyak contoh orang yang sukses sesuai bidangnya dan tidak berdasarkan nilai di sekolah
Masih banyak orang yang berpikir bahwa nilai akan pasti memberikan kesuksesan di masa depan. Padahal sudah banyak penelitian maupun contoh di sekitar kita bahwa banyak orang yang mampu sukses dalam bidangnya, bukan berdasarkan nilai sekolah.
Sebagai contoh, Anne Avantie adalah seorang desainer terkenal di Indonesia. Ia telah sukses menciptakan busana – busana indah yang telah dikenal luas baik lokal maupun internasional.
Semenjak SD ia sudah menunjukkan ketertarikan dalam bidang fashion dengan membuat gambar-gambar baju, hingga membuat pita-pita lucu yang kemudian dijual kepada teman-temannya. Ia dapat menapaki kesuksesan walau hanya lulusan SMP.
Kesuksesan Anne Avantie menggambarkan bahwa seseorang dapat bertahan hidup dengan bakat dan hobi yang dimiliki, sehingga tidak selamanya bergantung pada ranking di kelas.
Walau demikian, bukan berarti pendidikan tidaklah penting. Namun, tanamkan kepercayaan diri bahwa anak Anda hebat dalam bidang mereka.
Janganlah sesekali memarahi anak apalagi sampai membandingkan anak karena kemampuan mereka. Sebab, kita hanya akan menyakiti hati anak dan membuat pribadinya tidak percaya diri.
Orang tua hanya perlu menguatkan, menghargai, dan menyemangati segala proses yang telah dilakukan anak.
Demikian uraiang tentang hapus Stigma Peringkat Kelas itu Penting, Ranking Bukan Ukuran Mutlak Kecerdasan Anak. Semoga bermanfaat. (lis/berbagai sumber)
Baca juga: 20 Kata Bijak untuk Anak yang tidak Meraih Peringkat Kelas atau Hasil Rapor tidak Sesuai Harapan
Baca juga: Cara Bijak Orangtua Menanggapi Nilai Rapor Anak yang Jelek, Jangan Dimarahi, Jangan Membandingkan
Baca juga: Bacaan Doa agar Nilai Rapor Bagus, Diamalkan Anak dan Orangtua Saat Pembagian Rapor Kenaikan Kelas
Baca juga: Arti Waminallaili Fatahajjad Bihi, Kutipan Surat Al Isra Ayat 79, Keajaiban dari Sholat Tahajud