Siswa SMAN Surulangun Muratara Demo

Viral Siswa SMAN Surulangun Demo Minta Kepsek Dicopot, Disebut Pengamat Gagal Jalankan Dialog Sehat

Penulis: Eko Hepronis
Editor: Slamet Teguh
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DEMO - Siswa saat melakukan aksi demo di depan SMA N Surulangun meminta kepala sekolah copot, Senin (19/5/2025).Siswa Demo Copot Kepala Sekolah Di Muratara, Pengamat Pendidikan Sebut Sekolah Gagal Jalankan Ruang Dialog Yang Sehat.

Laporan wartawan Tribun Sumsel.com, Eko Hepronis 

TRIBUNSUMSEL.COM, LUBUKLINGGAU - Para siswa SMAN Surulangun, Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan melakukan aksi demo di lingkungan sekolah. 

Mereka meminta kepala sekolah SMAN Surulangun untuk diturunkan.

Aksi demo terjadi di depan sekolahpada Senin (19/5/2025) sekitar pukul 10.00 Wib.

Pengamat Pendidikan Kota Lubuklinggau, Hensein Arif Wijaya mengatakan fenomena siswa yang melakukan demonstrasi untuk meminta kepala sekolah diganti bukan sekadar peristiwa sosial biasa di lingkungan pendidikan. 

"Ini adalah cerminan dari kegagalan komunikasi vertikal dan horizontal di dalam sistem sekolah," kata Dosen Pendidikan Universitas Jambi (Unja) ini pada wartawan di Lubuklinggau, Selasa (20/5/2025).

Dalam kacamata manajemen pendidikan, hal ini menandakan adanya disfungsi dalam kepemimpinan sekolah, ketimpangan relasi antarwarga sekolah, dan absennya ruang dialog yang sehat.

Menurut Everard & Morris (1996) dalam teorinya tentang manajemen pendidikan, kepemimpinan kepala sekolah bukan hanya soal mengelola administrasi, melainkan tentang bagaimana membangun “iklim sekolah yang kondusif dan relasional”. 

"Kepala sekolah yang gagal menumbuhkan partisipasi dan rasa memiliki di kalangan siswa dan guru, sejatinya sedang membangun menara gading dalam organisasi yang seharusnya inklusif," ungkapnya.

Baca juga: Viral Siswa SMAN Surulangun Muratara Demo Hingga Bakar Ban di Jalan, Tuntut Kepala Sekolah Diganti

Baca juga: Alasan Siswa SMA Negeri Surulangun Muratara Demo Tuntut Kepsek Diganti, ini 9 Tuntutannya

Dari sudut pandang filsafat pendidikan, Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan adalah praktik pembebasan. Ketika siswa memilih untuk bersuara—meski melalui demonstrasi—itu menandakan bahwa mereka sedang menuntut ruang untuk didengar, bukan sekadar diberi tahu. 

Freire menolak model pendidikan “bank style” yang hanya menempatkan siswa sebagai objek.

Dalam konteks ini, demonstrasi bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang membungkam suara partisipatif mereka.

"Fenomena ini juga menunjukkan kegagalan sekolah dalam menginternalisasi nilai etos dialogis sebagaimana yang ditulis oleh Martin Buber, bahwa “real education is meeting.” ujarnya.

Sekolah mestinya menjadi ruang perjumpaan antar subjek, bukan arena konflik antara yang merasa berkuasa dan yang merasa tidak dianggap.

"Dalam ranah praksis, kita juga harus bertanya: di mana letak para guru dalam dinamika ini? Jika guru tidak hadir sebagai penengah, pemelihara suasana batin siswa, dan fasilitator aspirasi, maka peran pedagogis mereka menjadi kehilangan makna," sebutnya.

Halaman
12

Berita Terkini