Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.
(Akademisi Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah)
MUDIK sebagai rutinitas tahunan di Indonesia, telah berlangsung. Kementerian Perhubungan RI sudah memprediksi sekitar 146,48 juta orang melakukan kegiatan ini. Perkumpulan massa yang begitu besar dalam satu waktu, dipastikan akan meningkatkan pula volume sampah. Tahun 2024 KLHK mengatakan mencapai 50 juta ton lebih, tahun 2025 bisa saja meningkat.
Masalah sampah patut jadi perhatian ditengah euforia perjalanan mudik tahun 2025 ini. Ada beberapa kondisi yang menjadi titik produksi sampah.
Pertama, dalam perjalanan mudik, selalu moda transportasi darat menjadi dominan. Ada alasan tersendiri, yaitu bisa mengangkut dalam jumlah banyak orang dan bisa mobile di kampung. Parahnya pula, kebiasaan dalam perjalanan cenderung mencari yang praktis, kemasan plastik pasti jadi pilihan, entah air mineral ataupun makanan ringan. Titik awal produksi sampah (khususnya plastik), di perjalanan mudik.
Kedua, tradisi berlebaran dalam bentuk saling kunjungi dari rumah ke rumah, masih cukup kuat. Tetapi ada perbedaan dibanding puluhan tahun lalu. Jika dulu bertandang disuguhi ragam penganan dan minuman ringan dalam gelas, sekarang hampir semuanya sudah menyuguhi air kemasan. Dipastikan setiap rumah, selalu siap sedia kardus-kardus air mineral dalam ragam merek, yang sekali pakai langsung buang. Disini ada produksi sampah berikutnya yang sangat besar.
Ketiga, selain saling mengunjungi, mulai muncul pula bahwa lebaran harus berwisata. Maka ramailah seluruh objek wisata, entah itu wisata alam ataupun wisata buatan. Dipastikan berwisata pasti tak akan lepas dari makanan dan minuman. Sampah (termasuk plastik) akan muncul pula disini.
Keempat, tiap orang yang mudik, dipastikan membawa oleh-oleh untuk orang di kampung. Entah itu makanan, pakaian, atau jenis lain. Semua pasti butuh kemasan yang kemudian dibuang begitu saja.
Kelima, dalam setiap tradisi lebaran, pasti muncul jenis makanan khas, terutama yang berbahan baku daging, entah sapi atau ayam. Limbah olahan ini yang kemudian jadi masalah, dimana pasti menimbulkan aroma tak sedap. Sampah berupa limbah menyeruak disini.
Akumulasi dari semua itulah yang kemudian menghasilkan tumpukan yang tersebar dimana-mana. Tong-tong sampah (bagi yang disiplin) akan penuh dengan semua itu. Bagi yang tidak mau tahu, akan bertebaran dimana-mana. Ujungnya nanti adalah soal hilirisasi sampah.
Pemerintah sendiri melalui KLHK sudah mencoba melakukan kampanye agar mudik bisa tidak terlalu banyak meningkatkan volume sampah. Gagasan ini disebut "Mudik Minim Sampah", diluncurkan sejak 2024 lalu. Caranya dengan melakukan sosialisasi ke berbagai titik mudik, terminal, bandara, stasiun KA dan pelabuhan penyeberangan. Sebagai sebuah usaha, apa yang dilakukan sudah cukup. Tapi hasilnya tidak signifikan.
Mengapa demikian ? Titik utama ada pada pemerintah, karena memang ini tupoksi yang harus dijalankan. Pemerintahlah yang punya kuasa dan kewenangan untuk membuat tata kelola persampahan secara nasional.
Bisa ambil contoh dari keberhasilan Swedia dalam mengelola sampah. Melalui kebijakan Waste to Energy, Swedia sukses menerapkan daur ulang sampah menjadi energi. Ini tidak parsial, tapi betul-betul dikelola negara secara massif. Swedia bisa menurunkan limbah sampah menjadi 1 persen saja. Negara Skandinavia ini tidak melarang masyarakat memproduksi sampah, mereka justru "terpaksa" mengimpor sampah dari negara tetangga. Swedia kekurangan sampah dan harus mengimpor mencapai 800 ribu ton setiap tahun (NationalGeographic.grid.id).
Bagaimana dengan Indonesia?
Berbeda dengan Swedia, sudut pandang bahwa sampah adalah sesuatu yang memberatkan, membebani, kotor, masih berlaku kuat. Akibatnya, kebijakan yang muncul adalah produksi sampah harus ditekan semaksimal mungkin, bahkan jika mungkin tidak ada sampah di Indonesia ini. Karenanya, slogan Mudik Minim Sampah masih dilakukan.
Ini pemikiran yang sangat mustahil dan dari perspektif komunikasi lingkungan, ini adalah pilihan kata yang keliru. Tidak mungkin manusia tidak memproduksi sampah. Kalaupun ingin mengurangi, itu juga sangat naif.