TRIBUNSUMSEL.COM -- Begitu memasuki bulan Ramadan, suasana negeri ini berubah total. Jalanan yang biasanya lengang di pagi hari menjadi lebih hidup.
Mal dan pusat perbelanjaan dipadati pemburu diskon. Toko online tak henti-hentinya mengirim notifikasi promo. Pasar tradisional yang sempat lesu tiba-tiba bergeliat, bahkan ada yang beroperasi hingga dini hari. Semua ini berpuncak pada satu momen besar yang selalu dinanti: Lebaran.
Namun di balik euforia mudik, baju baru, kue kaleng, dan hampers beraneka rupa, muncul satu pertanyaan klasik yang tak kunjung usang: Mengapa ya, menjelang Lebaran kita jadi begitu konsumtif?
Jawabannya ternyata tidak sesederhana ‘karena butuh ini itu’. Lebaran bukan sekadar perayaan agama, tapi juga sebuah peristiwa sosial dan budaya yang membentuk — bahkan mendorong — perilaku konsumsi masyarakat secara kolektif. Perayaan ini menciptakan pola-pola pengeluaran yang unik, sekaligus kompleks.
Tradisi, Tekanan Sosial, dan Gaya Hidup Digital
Lebaran di Indonesia hadir bersama satu ‘paket lengkap’ tradisi yang nyaris tak bisa diabaikan. Mulai dari baju baru, pemberian THR, kue-kue kering, hampers untuk kerabat, sampai perabot rumah tangga yang mendadak perlu diganti. Semua dianggap lumrah, bahkan ‘wajib’. Tapi yang menarik, banyak dari pengeluaran ini lahir bukan dari kebutuhan fungsional, melainkan dari tekanan sosial-budaya.
Kita belanja bukan hanya karena ingin, tetapi karena merasa harus. Kalau tidak ikut arus, muncul rasa kurang pantas, malu, bahkan khawatir jadi bahan gunjingan tetangga. Konsumsi akhirnya tidak lagi soal fungsi, tapi menjadi sarana menjaga citra sosial.
Kini, tekanan itu tidak hanya berasal dari lingkungan sekitar. Media sosial memperluas dan memperkuatnya. Feed Instagram dan TikTok penuh dengan keluarga berbaju seragam, hampers berdesain estetik, serta rumah yang tampak seperti showroom. Banyak yang akhirnya merasa perlu tampil ‘maksimal’, meski isi dompet tidak mendukung.
Fenomena ini dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out). Orang terdorong untuk ikut tren, meskipun dengan cara meminjam dana atau memakai layanan paylater. Survei dari Lembaga Riset Konsumen bahkan menyebutkan bahwa lebih dari 40 persen masyarakat Indonesia pernah berhutang untuk memenuhi kebutuhan Lebaran. Bila tidak dikendalikan, gaya hidup berbasis gengsi ini bisa berujung pada beban finansial berkepanjangan.
Dampak Konsumtif: Berkah Ekonomi atau Beban Finansial?
Meski sering dikritik, perilaku konsumtif saat Lebaran juga membawa dampak positif bagi roda ekonomi. Inilah sisi lain yang patut diapresiasi. Saat masyarakat belanja lebih banyak, permintaan meningkat, dan ekonomi pun ikut berputar.
UMKM menjadi sektor yang paling diuntungkan. Penjual kue rumahan, pengrajin parcel, produsen busana muslim, pembuat mukena, hingga penyedia jasa kebersihan rumah mengalami lonjakan pesanan. Mereka mendapat ‘panen raya’ tahunan. Lebaran pun menjadi lokomotif ekonomi rakyat.
Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga selalu melonjak di kuartal kedua tiap tahun — dan Ramadan serta Lebaran adalah pemicunya. Perayaan ini, yang sering dianggap boros, ternyata juga menopang denyut ekonomi nasional, terutama di sektor informal.
Namun, penting untuk membedakan antara konsumsi produktif dan konsumsi yang memberatkan. Menggerakkan ekonomi itu baik, selama tidak memaksakan diri. Ketika kebutuhan Lebaran justru dibiayai dengan hutang atau cicilan, maka kebahagiaan sesaat bisa berubah jadi beban berkepanjangan.
Rayakan dengan Bijak, Bukan dengan Gengsi
Tak ada yang salah dengan merayakan Lebaran secara meriah. Justru, itu adalah bagian dari kekayaan budaya kita — menyambut hari kemenangan dengan suka cita, kebersamaan, dan berbagi. Namun, perlu disadari bahwa meriah tidak harus berarti mewah.
Kita perlu mulai menggeser cara pandang. Baju tahun lalu tetap bisa tampak baru bila kita memakainya dengan hati lapang. Kue sederhana tetap bisa membawa kehangatan bila disajikan dengan tulus. Parcel tak harus mahal, yang penting niat berbagi tetap ada.
Gengsi sering kali menyamar sebagai “kebutuhan”, padahal sejatinya hanya dorongan untuk terlihat setara — atau bahkan lebih — dari orang lain. Jika tidak dikendalikan, itu bisa jadi sumber stres, bukan sumber kebahagiaan.