Perusahaan tidak mampu membayar Tunjangan Hari Raya (THR) secara penuh sejak 2020 hingga 2024, yang terpaksa dicicil selama 4-5 bulan.
Bahkan, tagihan listrik perusahaan dari November 2024 hingga Januari 2025 mencapai Rp 40 miliar yang belum terbayarkan sebelum perusahaan dikelola oleh kurator.
Secara cash flow, perusahaan terus mengalami kerugian.
Jika PHK tidak dilakukan segera, maka kondisi finansial karyawan yang masih bertahan akan semakin tidak terjamin.
"Misal bulan Maret 2025 baru dilakukan PHK, maka karyawan semakin tidak terjamin secara penghasilan. JHT akan cair di Bulan April.
Selain itu, Sritex Grup telah mengalami kesulitan keuangan sejak beberapa tahun terakhir.
Perusahaan tidak mampu membayar Tunjangan Hari Raya (THR) secara penuh sejak 2020 hingga 2024, yang terpaksa dicicil selama 4-5 bulan.
Bahkan, tagihan listrik perusahaan dari November 2024 hingga Januari 2025 mencapai Rp 40 miliar yang belum terbayarkan sebelum perusahaan dikelola oleh kurator.
Secara cash flow, perusahaan terus mengalami kerugian.
Jika PHK tidak dilakukan segera, maka kondisi finansial karyawan yang masih bertahan akan semakin tidak terjamin.
"Misal bulan Maret 2025 baru dilakukan PHK, maka karyawan semakin tidak terjamin secara penghasilan. JHT akan cair di Bulan April.
Hal ini akan mengakibatkan kondisi sosial ekonomi yang sangat berat bagi para karyawan," jelas Denny.
Dengan adanya PHK ini, karyawan yang terkena dampak diharapkan dapat segera mengurus hak-hak mereka, termasuk pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dijadwalkan cair sebelum Lebaran.
Langkah ini diambil untuk memastikan mereka memiliki kepastian ekonomi, dibandingkan tetap bekerja dalam kondisi perusahaan yang tidak stabil.
Keputusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang dilakukan Tim Kurator terhadap 9.609 karyawan PT Sritex Grup pada 26 Februari 2025 bukan sekadar langkah terakhir dalam proses kepailitan, tetapi juga upaya untuk menyelamatkan hak-hak karyawan yang tersisa.