TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Dugaan 'perang' sembako gratis kepada masyarakat pemilih kembali marak jelang pencoblosan Pilkada 27 November 2024.
Tak dipungkiri sebagai strategi pasangan calon kepala daerah untuk menggaet suara nantinya.
Meski begitu, menurut Pengamat politik dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr M Husni Tamrin, bagi- bagi sembako ke masyarakat itu belum tentu dikatakan efektif untuk mendulang suara, karena semua paslon sebagian besar melakukan hal serupa.
"Yang mereka harapkan tentu saja mendulang suara. Boleh jadi akan efektif jika paslon lain tidak melakukan," kata Husni, Senin (25/11/2024).
Diterangkan Husni, hal itu tidak terlalu efektif karena ada kecenderungan semua pasangan calon (paslon) melakukan, dan ditambah dengan masyarakat yang semakin memahami makna dibalik pembagian sembako ini, maka efektivitasnya relatif terbatas.
"Dalam arti, bagi-bagi sembako baru akan efektif, jika merupakan bagian dari kombinasi berbagai strategi kampanye, " ucapnya.
Baca juga: Paslon Mulai Perang Sembako Jelang Pencoblosan Pilgub Sumsel 2024, Bawaslu Pastikan Tak Berpihak
Baca juga: Matahati Gelar Kegiatan Tebus Murah Sembako di Gedung Shinta 7 Ulu Palembang, 300 Paket Ludes
Ditambahkan Husni, adanya 'perang' sembako oleh pasangan calon ini, jelas mencederai demokrasi, dan menunjukkan lemahnya ekonomi masyarakat yang mudah diiming- imingi sesuatu dari calon pemimpin.
"Jujur sebenarnya fenomena bagi bagi sembako menjelang hari pencoblosan, merupakan praktik yang mencederai nilai- nilai demokrasi. Bagi- bagi sembako sebagaimana politik uang, merupakan bentuk manipulasi terhadap kebebasan memilih. Fenomena ini mencerminkan lemahnya kesadaran berdemokrasi dan eksploitasi terhadap kerentanan kondisi ekonomi sebagian masyarakat, " tandasnya.
Iapun berharap, harusnya ada tindakan dari pengawas pemilu yang ada, dan dilakukan pengusutan tuntas agar hal ini tidak terjadi lagi.
Disisi lain pengamat politik Unsri lainnya Prof Dr Febrian mengungkapkan, kalau sampai dikontek memilih untuk kepentingan rakyat itu, memang harus kasuistis melihatnya, dengan pasangan calon yang ditawarkan saat ini.
"Maksudnya, pada beberapa daerah itu memang yang tersedia calon pemimpin itu bukan dari yang terbaik dari yang jelek. Jadi tidak ada pilihan lain, sehingga apa memang betul bisa menuntaskan visi misi program kerja untuk mengentaskan kemiskinan kan sulit," paparnya.
Mantan Dekan Fakultas Hukum Unsri ini pun menerangkan, dengan kondisi Pilkada saat ini masyarakat tidak memilih dengan hati nurani, namun karena didasarkan bingkisan ataupun uang, menjadikan sistem Pilkada yang ada perlu dievaluasi kedepannya.
"Itu lagi- lagi sebenarnya dikaji lebih dalam soal sistem Pilkada, apakah dengan sistem demokrasi langsung yang langsung rakyat memilih itu efektif tidak, kalau tidak efektif maka lagi- lagi kita pilih pasangan calon yang tidak ada pilihan lagi, yang rekam jejaknya sudah diketahui masyarakat, "pungkasnya.
Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News
Ikuti dan bergabung dalam saluran whatsapp Tribunsumsel.com