Hingga akhirnya seorang kerabat yang melihat pendidikan Wiga, menawarkannya pekerjaan sebagai pengajar di SMP swasta di dekat rumahnya.
Menurut Wiga, di sekolah tersebut statusnya adalah guru honorer dan datanya tidak masuk dalam data pokok pendidikan (dapodik).
"Syaratnya memang dua tahun mengajar untuk masuk dapodik. Sempat ditawari. Tapi saya memilih untuk tidak, karena saya masih punya mimpi yang belum terwujud."
"Jika disebut relawan mengajar, ya bisa juga," kata ibu dua anak tersebut, melansir Kompas.com.
Saat pertama mengajar, Wiga mengaku kondisi sekolahnya sangat memperihatinkan karena sarana dan prasarana yang jauh dari kata layak.
"Kelas yang bisa digunakan hanya satu, jadi bergantian. Termasuk kursi-kursinya juga banyak yang rusak."
"Kalau hari pendek, ada yang belajar di kelas, di ruang guru dan perpustakaan," ujarnya.
Menurut Wiga, sebelum Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), biasanya SMP akan memperkenalkan sekolahnya di SD-SD sekitar.
Namun tidak untuk sekolah tempat Wiga mengajar.
Saat PPDB berlangsung, dia akan mencari anak yang putus sekolah agar bisa melanjutkan pendidikan di tempatnya mengajar.
"Pertama kali mengajar, saya ajak anak tetangga. Saya datangi satu per satu agar mereka mau sekolah."
"Saya bilang enggak usah bayar seragam, enggak usah bayar apa-apa."
"Untuk SPP bisa bayar semampunya. Mau Rp 10.000, mau Rp 5.000 tidak masalah."
"Yang penting anak-anak mau sekolah," papar Wiga.
"Saya jemput, saya ajak sekolah karena sebelumnya memang berhenti setelah lulus SD."