Pendapat Hisyam dan Ibn Sirrin
Dari Hisyam dan Ibn Sirrin, beliau berdua mengatakan, “Kurban atas nama anak, itu bisa sekaligus untuk aqiqah.” Qatadah mengatakan, “Kurban tidak sah untuknya, sampai dia diaqiqahi.” Al-Buhuti mengatakan, “Jika aqiqah dan kurban waktunya bersamaan, dan hewannya diniatkan untuk keduanya maka hukumnya sah untuk keduanya, berdasarkan keterangan tegas dari Imam Ahmad.” (Kasyaful Qana’, 3/30)
Sementara itu, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh memilih pendapat yang membolehkan menggabungkan aqiqah dan kurban. Beliau menyatakan dalam fatwanya,
“Andaikan aqiqah dan kurban terjadi secara bersamaan maka satu sembelihan itu bisa mencukupi untuk orang yang menyembelih. Dia niatkan untuk kurban atas nama dirinya, kemudian menyembelih hewan tersebut, dan sudah tercakup di dalamnya aqiqah.
Menurut keterangan sebagian ulama dapat disimpulkan bahwa aqiqah dan kurban bisa digabung jika ‘atas namanya’ sama. Artinya kurban dan aqiqahnya tersebut atas nama salah seorang anak. Sementara menurut keterangan ulama lain, tidak ada syarat hal itu. Artinya, jika seorang bapak hendak berkurban maka kurbannya bisa atas nama bapak, dan sekaligus untuk aqiqah anaknya. Ringkasnya, jika ada orang menyembelih hewan, dia niatkan untuk berkurban, dan itu sudah mencukupi untuk aqiqah.” (Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/159)
Pendapat Kedua
Pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad
Pendapat kedua, yakni pendapat dari Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i), Imam Malik (Mazhab Maliki), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan tidak boleh digabung. Alasannya, karena keduanya mempunyai tujuan yang berbeda dan sebab yang berbeda pula. Tujuan kurban adalah tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak yang lahir. Jika keduanya digabung, tujuannya tentu akan menjadi tidak jelas.
Ini ditegaskan dalam Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah yang menyebutkan, “Aqiqah dilaksanakan untuk mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan kurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).”
Pendapat al-Haitami
Bahkan, salah seorang ulama Syafi’iyah, al- Haitami, menegaskan, seandainya seseorang berniat satu kambing untuk kurban dan aqiqah sekaligus, keduanya sama-sama tidak dianggap. “Inilah yang lebih tepat karena maksud dari kurban dan aqiqah itu berbeda,” tulis Al Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj.
Dalil pendapat ini antara lain, bahwa aqiqah dan kurban adalah dua ibadah yang berdiri sendiri, sehingga dalam pelaksanaannya tidak bisa digabungkan. Disamping itu, masing-masing memiliki sebab yang berbeda. Sehingga tidak bisa saling menggantikan.
Al-Haitami mengatakan,“Dzahir pendapat ulama Syafi’iyah bahwa jika seseorang meniatkan satu kambing untuk kurban sekaligus aqiqah maka tidak bisa mendapatkan salah satunya. Dan inilah yang lebih kuat. Karena masing-masing merupakan ibadah tersendiri.” (Tuhfatul Muhtaj, 9/371).
Al-Hathab mengatakan, “Guru kami, Abu Bakr al-Fihri mengatakan, ‘Jika ada orang yang menyembelih hewan kurbannya dengan niat kurban dan aqiqah maka tidak sah. Tapi jika dengan niat kurban dan untuk hidangan walimah hukumnya sah. Bedanya, tujuan kurban dan aqiqah adalah mengalirkan darah (bukan semata dagingnya). Sementara dua tujuan mengalirkan darah, tidak bisa diwakilkan dengan satu binatang. Sedangkan tujuan utama daging walimah adalah untuk makanan, dan tidak bertabrakan dengan maksud kurban yaitu mengalirkan darah, sehingga mungkin untuk digabungkan.” (Mawahibul Jalil, 3/259).
Manakah pendapat yang lebih kuat?
Pandangan ulama yang lebih kuat dalam dua perbedaan pendapat ini adalah pendapat yang tidak membolehkan untuk menggabung pelaksanaan aqiqah dan kurban. Terkecuali, waktu aqiqah pada hari ke-7, ke-14, atau ke-21 kelahiran anak bisa bertepatan jatuh pada hari berkurban. Maka, mereka yang tidak punya kemampuan lebih untuk menyembelih hewan, bisa meniatkan untuk dua pelaksanaan sekaligus, yaitu melaksanakan aqiqah sekaligus bisa pula berkurban.
Pendapat ini pernah difatwakan Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Dalam Majmu’ Fatawa wa Rosail Al Utsaimin dijelaskan, mereka yang punya kecukupan rezeki dan ada dalam posisi ini, maka hendaklah menyembelih dua ekor kambing jika anaknya laki-laki. Hal itu disebabkan wajibnya aqiqah untuk anak laki-laki memang menyembelih dua ekor kambing.
Adapun mereka yang telah mencapai usia dewasa, sementara belum diaqiqahkan orang tuanya, maka tidak wajib baginya mengaqiqahkan dirinya sendiri. Inilah pendapat ulama yang lebih kuat dari Mazhab Syafi’i dan Hanbali. Aqiqah hanya menjadi tanggung jawab orang tuanya, atau mereka yang menanggung beban nafkah atasnya. Jadi, ia bisa melakukan kurban dan tidak perlu lagi memikirkan aqiqah untuk dirinya.
Sementara, beberapa ulama dari Hanbali lainnya memang mengatakan, boleh melakukan aqiqah kapan pun. Menurut mereka, waktu menunaikan aqiqah tidak dibatasi. Jadi, mereka yang memegang pendapat ini, ketika sudah mampu, ia disukai jika dia mengaqiqahkan dirinya sendiri. Namun, pendapat ini lemah dan tidak dianjurkan untuk diikuti. Demikian seperti diterangkan dalam Kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu.
Itulah Hukum Menggabungkan Niat Aqiqah dan Kurban, Bolehkah? Ada Dua Pendapat Ulama Berikut Penjelasannya. (lis/berbagai sumber)
Baca juga: Apa itu Hari Arafah? Waktu yang Makbul untuk Berdoa Menurut Hadits, Berikut Keutamaan dan Amalannya
Baca juga: Lirik dan Arti Qul Ya Adzim Antal Adzim, Dzikir Ya Adzim yang Banyak Dibacakan dalam Majelis Taklim
Baca juga: Hukum & Dalil Berkurban di Hari Raya Idul Adha, Wajib atau Sunnat Muakkad? Berikut Penjelasan Ulama
Baca juga: Hukum Berkurban dengan Cara Berhutang Bolehkah? Berikut Penjelasan Ulama Berdasarkan Dalil
Baca juga: Hukum Berkurban untuk Orang yang Sudah Meninggal Dunia, Ada 2 Pendapat Ulama, Berikut Penjelasannya