TRIBUNSUMSEL.COM - Tiga Mahkamah Konstitusi (MK) ajukan dissenting opinion dalam putusan perkara sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Total ada delapan hakim MK dalam putusan tersebut, ketiga hakim yang menyatakan dissenting opinion yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Pemilu (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan oleh Paslon 01 Anies-Muhaimin.
"Dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," jelas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di ruangan sidang MK, Senin (22/4/2024) yang dikutip dari Wartakota.live.
Lantas, apa arti dissenting opinion?
Dilansir dari Tribunnews.com, dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara.
Lebih jelasnya, dissenting opinion merupakan pendapat atau putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim yang mengadili suatu perkara.
Dissenting Opinion juga merupakan pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara, merupakan satu kesatuan dengan putusan itu, karena hakim itu kalah suara atau merupakan suara minoritas hakim dalam sebuah majelis hakim.
Ketua Pengadilan Agama Pelaihari, St Zubaidah dalam sebuah kolom menuliskan, sistem hukum Indonesia tergolong baru mengenal dan mempraktikkan dissenting opinion.
Sebab sebelumnya hal tersebut tidak dikenal dan tidak diatur dalam sistem hukum Indonesia.
Aturan tentang Dissenting Opinion baru muncul dalam pasal 19 UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: 'Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.'
"Dengan demikian masalah Dissenting Opinion merupakan hal baru dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia, yang tentunya merupakan langkah maju yang sangat berarti dalam sistem hukum Indonesia," tulis St Zubaidah, dikutip dari pa-marabahan.go.id.
Lebih lanjut, St Zubaidah menuliskan, majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam hukum acara berjumlah tiga orang.
Apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat di antara ketiga anggota majelis hakim tersebut, maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau putusan diambil dengan suara terbanyak.
Sementara bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, ia harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim.