TRIBUNSUMSEL.COM -- Hukum mencicipi makanan saat sedang berpuasa, apakah membatalkan puasa? Berikut pandangan ulama.
Mungkin di antara kita banyak bertanya, apakah mencicipi makanan (yang dimasak) agar rasanya pas, saat kita sedang berpuasa, boleh atau tidak? Apakah membatalkan puasa, apa hukumnya?
Berikut ini penjelasannya dari beberapa pandangan ulama dan mazhab.
Dikutip dari laman kemenag.go.id, mencicipi makanan tidak sampai membatalkan puasa, selama yang dicicipinya sedikit. Tidak ada wujud makanan yang masuk ke dalam rongga, kemudian rasa makanan yang terasa di lidah dan masih mungkin dibuang dikeluarkan.
Perlu diingat bahwa hal yang membatalkan puasa adalah masuknya benda ke dalam rongga perut. Dikecualikan bila yang masuk ke rongga perut tersebut karena lupa, tidak tahu, atau dipaksa, atau sesuatu yang sulit dipisahkan dari air liur.
Hal ini sesuai seperti yang dikemukakan ulama Syekh Salim bin Sumair dalam Safinatun Najah.
الذي لا يفطر
مما يصل إلى الجوف سبعة أفراد ما يصل إلى الجوف بنسيان أو جهل أو إكراه وبجريان ريق بما بين أسنان وقد عجز عن مجه لعذره
Artinya:
“Yang tidak membatalkan puasa di antara yang masuk ke dalam rongga perut ada tujuh poin. (Pertama, kedua, dan ketiga) sesuatu yang masuk ke dalam perut orang yang berpuasa karena lupa, tidak tahu, dan dipaksa; (keempat) sesuatu yang masuk perutnya berupa aliran air liur bersamaan dengan sesuatu yang ada di antara sela-sela gigi, sementara ia tidak mampu memisahkannya di antara antara liur tersebut karena sulit.” (Lihat: Salim bin Sumair, Matan Safinatun Najah, Cetakan Darul Ihya, halaman 114).
Oleh sebab itu, mayoritas ulama Syafi’i berpendapat masuknya sisa-sisa makanan yang sedikit dan sulit dipisahkan dari mulut tidak membatalkan puasa. Demikian pula rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan.
Maka itu pun tidak sampai membatalkan karena tidak adanya wujud benda yang masuk pada rongga.
.
أَمَّا مُجَرَّدُ الطَّعْمِ الْبَاقِي مِنْ أَثَرِ الطَّعَامِ فَلَا أَثَرَ لَهُ لِانْتِفَاءِ وُصُولِ الْعَيْنِ إلَى جَوْفِهِ
Artinya, “Adapun hanya sekadar rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan, maka tidak ada pengaruhnya bagi pembatalan puasa karena tidak ada wujud benda yang masuk dalam rongga.” (Lihat: Hasyiyah al-Bujairimi, juz I, halaman 249).
Kesimpulan ini diambil para ulama Syafi’i berdasarkan qaul Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: لا بَأْسَ أنْ يَذُوقَ الخَلَّ أوِ الشَّيْءَ، ما لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وهُوَ صائِمٌ