Keesokan hari sampai seterusnya, ia kembali datang ke warung kelontong meski tidak ada temannya.
Jiwa aktivis karena tergabung dalam serikat buruh dari pekerjaan sebelumnya sejak 1990-an masih melekat.
"Akhirnya saya tertarik menjadi ojol.
Ya sudah, saya mendaftarkan diri keesokan harinya dengan membawa berkas berupa ijazah, SKCK, BPKP, STNK, SIM, foto dan sebagainya," ujar Rusli.
Baca juga: Nasib Guru SMKN 5 Denpasar Hukum 1,5 Jam Siswa Telat 3 Menit, Arya Wedakarna Minta Lakukan Ini
Baca juga: Viral Momen Siswa SD di Cilacap Jongkok hingga Digendong TNI Lewati Jembatan Miring saat ke Sekolah
Terlepas ingin mencari uang, ia tidak menampik bahwa dengan mendaftarkan diri untuk pekerjaan tersebut, Rusli telah "menggadaikan" keluarganya.
Dalam proses pendaftaran bersama ratusan orang yang lain, Rusli menilai ada beberapa hal dari perusahaan yang memarginalkan para pelamar.
Misalnya adalah tidak tersedianya parkiran, para pelamar yang hanya duduk di lantai hingga para pencari kerja diharuskan melepas sepatu di saat perekrut mewawancarainya.
"Terus, soal jaket.
Saya kira ini inventaris aplikator (aplikator).
Ternyata, driver membeli dengan membayar angsuran.
Uangnya dipotong setiap hari dari hasil orderan setiap hari," kata Rusli.
Rusli menilai seharusnya jaket tersebut menjadi hak milik pengemudi setelah selesai mencicilnya.
Namun, perusahaan terkadang melarang para driver melalukan unjuk rasa mengenakan jaket itu di beberapa kesempatan.
Selain itu, Rusli juga menilai pengemudi ojol merupakan profesi yang terpinggirkan.
Oleh sebab itulah Rusli merasa tak ingin dibedakan.