TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Ternyata di Sumatera Selatan backlog perumahan atau kesenjangan antara rumah yang dibangun dan rumah yang dibutuhkan masyarakat masih besar. Angkanya bahkan di atas DKI Jakarta.
Dalam liputan khusus Hari Perumahan Nasional (Haprenas) 25 Agustus 2023 ini, Tribun menyajikan cover story bagaimana perkembangan perkara hunian di Kota Palembang dan Sumsel.
Data di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Provinsi Sumsel backlog perumahan di Sumsel pada 2022 sebanyak 345.985 unit. Jumlah tersebut menurun dari sebelumnya di 2021 sebanyak 500 ribuan.
Untuk di Kota Palembang backlog perumahan di 2022 sebanyak 112.932 unit. Palembang memiliki backlog perumahan terbanyak karena memang dari segi jumlah penduduknya paling banyak yaitu 8,6 juta jiwa (data BPS 2022).
Sebab itu, menurut Ketua DPD Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) Sumsel, Endang Wasiati Wierono, jika ada kesempatan membeli rumah, sebaiknya segera dibeli. Apalagi tahun depan akan digelar Pemilu.
"Kalau kamu sudah punya penghasilan yang tetap, dan punya dana untuk DP, segera beli rumah. Buy now or never," kata Endang, yang juga merupakan pengamat properti.
Wanita yang berkecimpung di dunia properti ini mengutip perkataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, kalau nggak beli rumah sekarang, after Pemilu nggak jamin kamu bisa beli rumah.
"Faktanya harga tanah selalu naik, dan tanah nggak bertambah, makanya segera beli rumah. Karena harga tanah akan semakin meningkat, bahan material seperti besi dan lain-lain akan meningkat," ungkapnya.
Baca juga: Lowongan Kerja BTPN Syariah Community Officer, Syarat dan Link Pendaftaran
Kepala Bidang Perumahan Disperkim Provinsi Sumsel Ir H Yudho Joko Prasetyo ST MMT IPM mengatakan, pemerintah dan pengembang berusaha untuk memenuhi kebutuhan rumah, akan tetapi menghadapi banyak kendala.
"Di satu sisi kami terus berupaya menyediakan rumah layak huni, namun di sisi lainnya jumlah pernikahan terus bertambah," kata Yudho Joko.
Menurutnya, menikah memang hak asasi, jadi pemerintah tetap berupaya untuk memfasilitasi agar pasangan muda punya rumah. Caranya berbeda-beda, seperti pasangan kaya silakan beli rumah menengah.
Lalu PNS/TNI/Polri dan lain-lain yang punya penghasilan tetap bisa dengan program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).
"Ada juga perumahan komunitas, dan kalau mereka bisa bangun sendiri bisa bangun sendiri," kata Yudho.
"Di satu sisi ada juga yang non-bankable seperti tukang bakso, pedagang, dan lain-lain. Mereka kan tidak fixed income, ini yang masih terus diupayakan dengan berbagai program seperti Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) dan lain-lain," katanya.
Berdasarkan data baru 25 persen yang bankable, lalu 75 persen nonbankable, dan hanya 10 persen yang benar-benar tidak mampu atau dan tidak memungkinkan untuk membeli rumah.
"Sekarang bagaimana caranya agar mereka bisa memiliki rumah bisa dengan FLPP, BP2BT, dan lain-lain. Namun di masyarakat kalau dilihat sekarang rumah bukan jadi kebutuhan dasar lagi, karena mereka juga memikirkan kendaraan, handphone, dan lain-lain," ungkapnya
Untuk itulah ketika dicek didapati ada cicilan kendaraan, handphone, dan lain-lain. Akibatnya itu menjadi hambatan untuk bisa segera memiliki rumah.
Berdasarkan data 2022, total ada 58.428 rumah. Capaian tersebut ada yang dari pemerintah, pengembang, masyarakat, hingga CSR.
Seperti kolaborasi pembangunan rumah BPS Land yang direncanakan akan ada ribuan unit. Kemudian ada Rumah Komunitas di Prabumulih, Lubuklinggau, Banyuasin, dan lain-lain. Ada juga program bedah rumah.
Menurutnya Yudho, terbaru di 2023 bakal ada program rent to own (RTO) dan skema staircasing ownership yang menyasar generasi milenial. Dengan konsep menyewa hunian baik rumah tapak maupun apartemen selama tiga tahun. Kemudian baru disepakati untuk dibeli.
"Namun ini memang belum berjalan karena masih dalam proses, kita tunggu saja perkembangannya. Yang baru berjalan ada juga program rumah inti tumbuh tahan gempa (Ritta), ini baru dibangun di wilayah Prabumulih," katanya.
Ketua DPD AREBI Sumsel Endang Wasiati Wierono mengatakan, manusia perlu rumah sebagai tempat istirahat, berkumpul bersama keluarga, membesarkan anak, melindungi dari cuaca dan ancaman.
"Untuk penjualan rumah yang masih banyak diminati saat ini tentunya rumah subsidi. Lalu rumah menengah ke bawah dan ada juga menengah ke atas. Masing-masing orang kebutuhan dan kemampuan finansial nya berbeda-beda," kata Endang.
Namun sayangnya ketersediaan rumah subsidi ini masih kurang.
Buktinya, setiap ada open project perumahan subsidi, cepat sekali terjual.
Pemerintah perlu terus menyediakan hunian yang terjangkau untuk masyarakat.
Sedang untuk perumahan menengah, sementara masih cukup ketersediaannya. Penawaran dan permintaan masih seimbang.
"Untuk rumah subsidi karena permintaan tinggi, kendalanya relatif tidak ada. Sedang untuk rumah menengah, dan keatas kendalanya di persaingan," katanya.
Menurutnya, rumah menengah dan ke atas, karena persaingan yang relatif tinggi, maka setiap developer perlu menemukan cara yang efektif untuk bisa mendapatkan penjualan.
Untuk pangsa pasarnya sendiri menurut Endang, beragam ada yang memang sudah punya budget untuk beli rumah pertama, ada juga orang tua yang membelikan anaknya.
Bahkan ada juga anak-anak muda yang sudah mempunyai dana untuk membeli rumah seperti dari konten kreator.
"Memang masih banyak anak-anak muda yang belum terpikir untuk beli rumah. Bisa dipahami juga, mungkin pendapatannya mereka masih rendah, sehingga memilih ngekost jadi solusi untuk mengatasi gap antara biaya dan pendapatan," ungkapnya
Ia percaya semua orang kalau mampu pada akhirnya akan beli rumah juga. Yang belum beli rumah, mungkin prioritasnya belum ke sana. Jadi mereka berpikir untuk yang lain dulu.
"Namun pesan saya, akan lebih baik mulai menabung, ketimbang dipakai untuk ngopi-ngopi, holiday, happy-happy tapi nggak punya aset," katanya.
Ditanya soal lokasi perumahan Jakabaring vs Gandus. Menurut Endang, wilayah Jakabaring yang lebih berkembang.
"Buktinya Jakabaring sudah ada mal, hotel bintang lima, bahkan rumah sakit besar. Dari segi transportasi ada angkutan massal LRT. Sedang di Gandus belum ada mal ataupun hotel," katanya.
Masalah Pembiayaan
Di Provinsi Sumsel ada 200 perumahan yang dibangun oleh 126 anggota Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi). Sedangkan di Palembang ada 130 perumahan.
Menurut Ketua DPD Apersi Sumsel, Syamsu Rusman, untuk masalah perumahan lebih ke pembiayaan melalui perbankan yang aturannya terbilang ketat.
"Terlebih masih banyak juga masyarakat yang belum bankable. Misal harus ada usaha, harus ada gaji tetap dan lain-lain. Harapannya aturan perbankan lebih fleksibel," kata Syamsu Rusman
Selain itu kuota, untuk rumah subsidi ini kan ada kuotanya dari pemerintah. Harapannya kuota juga ditambah. Namun balik lagi, percuma kalau kouta ditambah tapi kalau aturan di perbankan tidak fleksibel.
"Kita nggak bisa melebihi dari kuota yang ditetapkan pemerintah, misal tahun ini kuotanya 240 ribu se-Indonesia. Kalau di Sumsel estimasi 15 ribu unit maka cuma itu, kalau bangun lebih dari itu rumah tidak terserap," ungkapnya
Menurutnya, untuk tahun ini Apersi targetnya 5.500 unit rumah subsidi, di Juni sudah 3.000-an. Untuk rumah subsidi ini paling banyak di daerah Kenten dan Mata Merah.
"Untuk di Gandus juga ada, namun kalau untuk di Jakabaring lebih ke komersial. Jakabaring harga tanahnya mahal, jadi kalau rumah subsidi nggak masuk. Kalaupun ada yang subsidi di pinggiran kota," katanya.
Kemudian untuk di Jakabaring fasilitasnya sudah banyak, seperti ada mal, rumah sakit, hotel, angkutan masal dan lain-lain, sarana dan prasarana lebih menunjang.
"Sedangkan daerah Gandus ke Keramasan baru berkembang. Sebenarnya semua daerah punya prospek masing-masing, seperti di Gandus dekat dengan pabrik dan perindustrian," katanya.
Menurut Syamsu, kalau developer itu orientasinya profit, dalam artian saat ini permintaan banyak rumah subsidi dan itu sesuai dengan kemampuan masyarakat, maka pengembang masuknya di market itu.
"Sedangkan terkait harga rumah yang terus meningkat paralel dengan kenaikan bahan baku, dan inflasi. Kalau rumah subsidi pemerintah yang menentukan," ungkapnya.
Masih kata Syamsu Rusman, untuk rumah subsidi ini kadang-kadang kenaikan itu tidak sebanding dengan kenaikan material ataupun inflasi, yang jadi masalah kalau mengikuti inflasi otomotif harga rumah tinggi dan tidak terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Untuk itu dengan penyesuaian harga yang ada pintar-pintarlah developer menyiasatinya. Karena kalau harga lebih tinggi dari yang ditentukan pemerintah maka masyarakat tidak bisa menjangkau itu.
"Untuk harga rumah subsidi ini Rp 162 juta. Dengan spesifikasi rumah saat ini sudah layak huni, seperti tidak lagi menggunakan batako tapi sudah pakai batu bata. Lalu lantai keramik, rumah diplester keliling dan lain-lain," ungkapnya
Sedangkan terkait banyak perumahan dibangun di daerah rawa, menurutnya rata-rata perumahan menimbun. Tantangan di Palembang ini 70-80 persennya harus ditimbun karena daerah rawa. (tim)
Baca berita lainnya langsung dari google news