TRIBUNSUMSEL. COM, PALEMBANG - Presenter juga tokoh asal Sumsel Helmi Yahya menceritakan pengalamannya, maju sebagai kepala daerah di Indonesia membutuhkan modal besar, meskipun hal itu belum jadi jaminan akan terpilih.
Helmy Yahya sendiri tercatat tiga kali pengalaman mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah di Sumatera Selatan (Sumsel), mulai dari tingkat Kabupaten hingga Provinsi, yang semuanya harus menelan kekalahan.
Helmi Yahya maju pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumsel pada tahun 2008, selain itu juga pernah menjadi calon bupati (Cabup) kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2010 dan 2015.
Pada 2010 itu ia berpasangan dengan Yulian Gunhar (sekarang DPR RI) dan pada 2015 berpasangan dengan Muchendi Mahzareki yang saat itu anggota DPRD Sumsel sekaligus putra Wakil Gubernur Ishak Mekki.
Hal itu diungkapkan Helmy saat hadir di podcast Deddy Corbuzier dan Helmi Yahya mengungkapkan alasannya bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Baca juga: Maju Pilgub Sumsel 2024 Pasangan Herman Deru, Ini Jawaban Mawardi Yahya Soal Modal Duit Untuk Nyalon
Pria kelahiran Sumsel ini pun mengungkapkan jika perpolitikan di Indonesia berbiaya mahal. Awalnya Helmi mengungkapkan alasan PSI bertekad mengurangi tindakan korupsi.
Helmi mengakui tiga kali kalah dalam Pemilihan Daerah (Pilkada) di Sumsel. Ia pun mengakui sangat paham penyebab ketiga kali kekalahan, ia mencoba tidak mau money politik (politik uang).
"Saya paham betul, kenapa saya kalah," aku Helmi di podcast tersebut.
Sehingga Helmi pun mengkritik, watak masyarakat yang sebenarnya juga melakukan 'korupsi' kecil-kecilan saat Pemilu.
Watak yang tidak mau memilih orang baik hanya karena tidak memberikannya uang saat kampaye.
"Anda (warga) juga yang memulai korupsi, jadi jangan komplain misalnya ada bupati yang masih banyak jalan rusaknya," tuding Helmi.
Mantan Dirut TVRI ini pun membeberkan apa yang disampaikan Wakil Ketua KPK yang menyebutkan jika kebutuhan membeli partai di kabupaten kecil di Indonesia mencapai Rp 25 miliar.
"Wakil ketua KPK itu adik kelas saya. KPK menyebut untuk kabupaten kecil saja, beli perahu habis Rp 25 miliar
itu untuk per kursi (DPRD)belum lagi biaya 0olitic costnya sudah mahal Ded untuk bayar saksi. Itu di kabupaten kecil. Jadi bisa menghabiskan Rp 50 - Rp 60 miliar untuk jadi Bupati. Itu pun belum tentu menang dan saya ngamalaminya dia kali," beber Helmi.
Ditambahkan Helmi, jadi masyarakat tidak boleh komplain kepada kepala daerahnya yang tidak melakukan pembangunan, karena uangnya tidak diperuntukan seperti janjinya.
"Jadi jangan komplain ke kepala daerah kalau ada jalan hancur. Sebab kepala daerah itu nanti saat ia menjabat pasti berusaha untuk mengembalikannya.