TRIBUNSUMSEL.COM - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra ikut berkomentar soal Bima Yudho yang dipolisikan karena mengkritik infrastruktur dan jalan rusak di Lampung.
Dhana mengingatkan bahwa kritik adalah bagian dari kebebasan berpendapat seorang warga negara.
Atas hal, Dhana sangat menyanyangkan adanya pihak yang sampai melaporkan Bima Yudho ke polisi akibat kritik yang disampaikan.
“Kritik adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang tidak hanya merupakan bagian penting di dalam sebuah pemerintah yang demokratis, tetapi juga elemen kunci di dalam hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi kita,” kata Dhahana, Selasa (18/4/2023).
Baca juga: Alasan Kasus Bima Yudho Dihentikan Polisi, Polda Lampung Beri Penjelasan Hingga Singgung Soal UU ITE
Dhahana menjelaskan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) telah mengatur kebebasan berpendapat dan berekspresi termaktub di dalam Pasal 28E Ayat (3).
Adapun bunyi Ayat tersebut yaitu, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".
Dhahana menyebut, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvenan hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Di dalam ICCPR, negara didorong untuk menjamin kebebasan berpendapat.
Kebebasan berpendapat pun disebutkan di dalam pasal 19 Ayat (1) dan pasal 19 Ayat (2). Pasal 19 Ayat (1) berbunyi
“Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan/intervensi.”
Sementara pasal 19 Ayat (2) berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan baik secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”
“Mengingat pentingnya kebebasan berpendapat dan berekspresi di dalam peraturan perundang-undangan kita, kami harap Pak Gubernur Lampung dapat mempertimbangkan kembali langkah hukum yang telah diambil dalam menyikapi Mas Bima,” kata Dhahana.
Dirjen HAM ini berpandangan, isu mengenai langkah hukum Gubernur Lampung dengan pendekatan hukum juga telah menyita besar perhatian publik.
Menurutnya, mengedepankan dialog dengan publik dalam menjelaskan tantangan maupun kendala kala mengimplementasikan program-program pemerintah merupakan langkah yang lebih positif dan konstruktif dan sejalan dengan semangat HAM.
“Kebebasan berekspresi adalah syarat yang diperlukan untuk mewujudkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas yang mana hal ini sangat penting dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia,” imbuhnya.
Seperti diketahui, Video berdurasi 3 menit 28 detik yang dibuat oleh Bima Yudho melontarkan kritik terhadap kondisi sejumlah sektor di Lampung.
Beberapa sektor yang dikritik, di antaranya terkait infrastruktur, proyek Kota Baru, pendidikan, tata kelola birokrasi, pertanian, dan tingkat kriminalitas.
Bima Yudho berpandangan, infrastruktur di Lampung banyak yang rusak, sementara proyek Kota Baru disebut mangkrak sejak lama.
Akun TikTok ini juga menyebutkan bahwa pendidikan di Lampung tidak merata hingga ketergantungan akan pertanian.
Dipolisikan
Bima Yudho pun resmi dilaporkan pengacara Ginda Ansori ke Polda Lampung terkait Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kepala Bidang Humas Polda Lampung Komisaris Besar (Kombes) Zahwani Pandra Arsyad membenarkan, adanya laporan resmi terhadap Tiktoker Bima tersebut.
"Benar sudah dilaporkan tanggal 13 April kemarin," kata Pandra saat dihubungi, Sabtu (16/4/2023).
Pandra mengatakan, laporan itu telah diterima oleh kepolisian.
Menurutnya, tiktoker itu dilaporkan atas dugaan pelanggaran UU ITE.
Dia menambahkan, saat ini kepolisian masih melakukan penyelidikan atas apa yang dilaporkan tersebut.
"Apakah memenuhi unsur atau tidak, nanti kita gelar perkara dahulu," kata Pandra.
Kasus dihentikan
Kasus dugaan pelanggaran UU ITE atas Tiktoker Bima Yudho Saputro dihentikan. Penyidik Polda Lampung tidak menemukan unsur pidana dalam laporan tersebut.
Kepala Bidang Humas Polda Lampung, Komisaris Besar (Kombes) Zahwani Pandra Arsyad, membenarkan pengusutan kasus itu telah dihentikan oleh penyidik Cybercrime.
"Setelah dilakukan penyelidikan, kasus yang dilaporkan itu bukan tindak pidana," kata Pandra saat dihubungi, Selasa (18/4/2023).
Dalam penyelidikan ini, Polda Lampung telah memeriksa tiga orang ahli, yaitu dua ahli pidana Ahmad Rizal dan Bambang Hartono serta satu orang ahli bahasa Hasnawati Nasution.
Menurut Pandra, pokok kasus yang dilaporkan oleh pengacara Ginda Anshori itu atas diksi "Dajjal" tidak merujuk pada suku, agama, dan ras tertentu.
"Tidak merujuk ke SARA dan juga tidak ada unsur kebencian sebagaimana dilaporkan oleh pelapor," kata Pandra.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Baca artikel menarik lainnya di Google News