Tentu, untuk sampai ke maqam ini tidaklah mudah. Dipenuhi ragam serangan keberatan, ke-eman-an, dan kekikiran.
Bahkan mungkin, orang yang sudah mencapainya pun akan terus berjuang dan bertahan dari “daya lena” yang dimiliki harta.
Maka, diperlukan pertahanan aktif untuk menahan daya lenanya. Barangkali membiasakan diri bisa jadi langkah awal. Sesuai saran dari Sayyidina Abu Hurairah. Begini katanya:
تعودوا الخير, فإن الخير عادة
Artinya: “Biasakanlah (berbuat) baik, karena sesungguhnya kebaikan itu kebiasaan.” (Imam al-Hafidh Abu Bakr Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, al-Jâmi’ li Syu’ab al-Îmân, Riyadh: Maktabah al-Rusyd)
Contoh sederhananya begini. Tanpa sadar pikiran kita mengatakan bahwa sedekah adalah “uang receh”. Setiap kali ada orang yang meminta-minta kepada kita, baik saat kita di mobil atau di jalanan, refleks kita selalu mencari uang receh atau uang kecil.
Jika kita tidak menemukannya, kita urungkan niat kita untuk memberi. Refleks semacam ini muncul karena “kebiasaan” yang terekam di pikiran kita. Yang sejak kecil selalu melihat hal yang sama (memberi dengan uang receh), sehingga kita pun masuk dalam lingkaran itu.
Tapi ini hanya contoh, tidak bisa dijadikan standar umum, karena tumbuh kembang jiwa manusia lebih kompleks dari sekadar contoh. Langkah awal dalam “pembiasaan” diri adalah “memaksa”.
Paksa diri kita untuk menghadapi rasa “eman” dan bertahan darinya. Kebanyakan orang, saat pertama kali menyumbang dalam jumlah besar, ia akan dihantui oleh nilainya, bisa sampai satu minggu atau bahkan berbulan-bulan setelah menyumbang.
Jika ia berhasil bertahan dari rasa “kapok” dan kembali memaksa diri untuk melakukannya, perlahan-lahan “hantu” itu akan berkurang.
Penyesalannya setelah menyumbang tidak akan sebesar sebelumnya. Jadi, bulan Ramadhan adalah momen yang tepat untuk meluaskan kedermawanan kita.
Toh, banyak dari kita yang telah berhasil menahan diri dari makan, minum dan berhubungan badan, sekarang giliran menahan diri dari rayuan kikir, godaan bakhil dan hantu penyesalan pasca-sedekah.
Apalagi di bulan yang penuh berkah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu meningkatkan kedermawanannya saat bulan Ramadhan.
Sayyidina Abdullah bin Abbas mengatakan:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقي جبريل، وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيُدارسه القرآن، فالرسول الله صلى الله عليه وسلم أجودُ بالخير من الريح المرسلة
Artinya: “Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling dermawan, dan beliau (menjadi) lebih dermawan lagi di (bulan) Ramadhan saat berjumpa Jibril. Jibril menemuinya setiap malam (bulan) Ramadhan untuk mengajarkan al-Qur’an. Maka, Kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi angin yang berhembus.”