Ia membangunnya secara mandiri melalui bank sampah yang ia kelola dan dari uang hasil melatih mendayung di Indonesia atau pun dari Malaysia.
Namun secara tekhnis masih ada kendala Leni membangun sekolah.
Salah satunya tidak memiliki komputer untuk memasukkan data anak ke data pokok pendidikan.
Leni bercerita komputer lama mereka telah rusak dan uang yang dimiliki diprioritaskan untuk membayayar guru yang mau mengajar di sekolahya.
“Kami belum bisa memasukkan data anak ke dapodik (data pokok pendidikan) karena kami tidak punya komputer untuk memasukkan data tersebut,” kata Leni.
Baca juga: Positif Covid-19, Kondisi Terkini Zumi Zola-Patrialis Akbar, 60 Penghuni Sukamiskin Terpapar Corona
Membina 20 UMKM
Selain mewadahi anak-anak sekitar yang butuh pendidikan formal, Leni juga mengajak para ibu sekitar untuk membuat usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM).
“Ada 20 UMKM binaan kami,” kata dia.
Para pelaku UMKM ini juga berasal dari keluarga menengah ke bawah.
Namun dari 20 UMKM yang ia bina hanya satu dua yang mendapatkan bantuan pemerintah. Dia sendiri tidak tahu penyebabnya apa.
Namun baginya yang terpenting adalah anak dan beberapa keluarga di Kampung Legok tempat dia tinggal punya kegiatan positif.
Menurut Leni, gerakan pendidikan harus disertai gerakan ekonomi.
Selain itu, dia juga mengadakan pengajian-pengajian.
“Kita juga ada rumah tahfiz, tempatnya di sinilah, di rumah ni,” kata dia.
Leni bercerita ia memiliki 10 saudara dan sejak kecil sering ikut ibunya ke kebun.