TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Masih adanya bakal pasangan calon kepala daerah (Bapaslonkasa) tunggal yang akan melawan kotak kosong (koko) pada Pilkada serentak di Sumsel, menunjukkan peran partai politik sebagai pilar demokrasi masih minim dan sangat disayangkan.
Hal ini disampaikan pengamat politik Sumsel Ki Joko Siswanto saat dialog interaktif dengan tema "Menakar suara parpol di Pilkada" dalam rumah Pilkada 2020 Virtual Fest Sripo- Tribun Sumsel, Selasa (25/8/2020).
"Bisa jadi hanya satu kandidat bakal paslonkada di satu daerah, hal ini karena ada dua sebab. Pertama prestasinya saat memimpin luar biasa sehingga orang lain tidak mau melawan karena akan kalah," kata Joko.
Kedua diungkapkan Joko, kecenderungan kandidat tunggal bisa saja karena kapitalsasi politik, mengingat kandidat memilik uang sehingga diborongnya partai.
Kemungkinan kedua ini yang sering terjadi di Pilkada di Sumsel.
"Partai orentasinya seperti itu, kecenderungannya mengumpulkan pundi- pundi di Pilkada, dan kandidat ingin menang muda dengan borong partai. Tapi mudah- mudahan ini tidak terjadi dan kita berharap ada perlawanan disetiap Pilkada untuk pendidikan parpol, nanti masyarakat menilai sendiri apakah usungan parpol itu layak atau tidak," terangnya.
Joko mengungkapkan, belajar pengalaman Pilkada 2018 lalu, memang ada gerakan koko (kotak kosong) melawan calon tunggal di Pilkada Prabumulih.
Hanya saja gerakan Koko tidak berhasil yang mungkinan kalah oleh prestasi dari petahana.
"Kita sayangkan jika hal kedua terjadi, (kandidat borong partai) karena peran parpol sebagai pilar demokrasi tidak terjadi," tuturnya.
Ia sendiri tak memungkiri, Pilkada di Indonesia saat ini banyak menyimpang dari teori.
Dimana parpol yang tidak mampu mengusung sendiri akan berkoalisi, dan koalisi di Indonesia selama ini tidak pernah mantap, asalkan punya untung berkoalisi tapi kalau tidak akan cari lain.
"Parpol di Indonesia sifatnya sentralistik dan oligarki, meskipun ada kepengurusan di daerah tetap saja dalam semua rekomendasi minta restu pusat yang menentukan. Seperti PDI-P ke ibu Mega, Nasdem ke Surya Paloh dan sebagainya ini menentukan."
"Jadi meskipun survei agak benar katakanlah, tapi jika pusat menganggap tidak cocok bisa enggak jadi. Harusnya survei bisa jadi reverensi dan nanti atas memutuskan," capnya.
Selain itu, kecenderungan sekarang ini diakui Joko, parpol berusaha mengurangi resiko kalah, sehingga politik dinasti tetap berkembang pesat.
Di mana pengaruh orang besar atau kerabat besar yang punya pengaruh di kekuasaan ikut menentukan.