TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sumsel Sumsel Sumarjono Saragih mengaku prihatin melihat musibah kabut asap yang menimpa Sumsel dan meminta untuk tidak saling tuduh penyebab Karhutla.
"Mari kita tidak saling tuduh tanpa fakta. Sangat merugikan dan bukan jadi solusi. Pengusaha dan buruh di wilayah karhutla adalah korban utama dan pertama. Bukan biang pembakaran lahan dan hutan. Api bisa datang dari mana saja. Kami justru korban. Korban tuduhan dan ancaman hukum, materi dan kesehatan para buruh,” ungkap Ketua APINDO Sumsel Sumarjono Saragih di sela-sela kegiatan Sirvey Daya Saing Ushaa kerjasama APINDO & ACI-NATIONAL UNIVERSITY OF SINGAPORE di Hotel Harper Palembang, Senin (23/9/2019).
APINDO Sumsel dan dan Serikat Buruh Sumsel justru menyatakan prihatin dengan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta mengajak seluruh elemen masyarakat, memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa untuk segera menurunkan hujan, agar mengurangi dampak asap dan memadamkan api di lahan terbakar.
"Karyawan korban karena tinggal di sumber asap. Tapi yang kita dapatkan sekarang ini kan seolah-olah pengusaha sawit sebagai biang kebakaran," keluh Sumarjono.
Menurut Sumarjono, kalau ada pengusaha yang sengaja pembersihan lahan dengan membakar, itu namanya bodoh bahkan sama dengan bunuh diri.
"Ada UU mengatakan strict liability. Jangankan kita yang membakar, dari luarpun apinya terbakar di lahan konsensi, itu tanggungjawab pemilik konsesi namanya strict liability. Oleh karena itu sangat tidak masuk akal tuduhan-tuduhan itu bahkan merugikan sawit khususnya dan industri HTI juga bahwa pengusaha membakar lahan untuk membersihkan lahan. Sigma sawit kita sudah begitu buruk dilakukan Eropa dengan isu ini bahkan mengancam industri sawit,” jelas Sumarjono.
Saat ini pengusaha tengah berjuang keras jangan sampai ada api di lahan. Menyiapkan peralatan, melakukan patroli 24 jam, melatih regu pemadam, membentuk masyarakat peduli api adalah upaya nyata yang dilakukan.
"Hasilnya dapat dilihat dari data. Menurut data Global Forest Watch, titik api didalam konsesi perusahaan hanya 10 persen. Selebihnya 90 persen justru dilahan semak belukar, tak bertuan atau lahan dalam otoritas negara. Artinya penjagaan dan antisipasi api oleh pengusaha dan para buruhnya, sangat efektif mengurangi resiko kebakaran,” jelasnya.
Sebaliknya lahan yang belum ada budidaya dan atau milik negara minus penjagaan. Justru lahan dan hutan tak bertuan atau milik negara menjadi sumber api paling besar.
"Apakah pemerintah dan masyarakat sudah melakukan upaya antisipasi sebagaimana dilakukan pengusaha dan buruhnya,” tanya Anang Ketua SPSI Sumsel yang didampingi Ali Hanafiah Ketua SBSI.
Menurutnya, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk saling menyalahkan. Kebakaran bisa jadi dilakukan sengaja oleh orang atau kelompok dengan motif tertentu. Justru inilah saat tepat untuk mendukung upaya penegakan hukum.
Disampaikannya, di musim seperti ini, kebakaran bisa terjadi dimana saja. Hutan Amazon, California, Australia dan Gunung Lawu, Hutan Pinus Gunung Geulis terbakar. Tidak ada gambut dan sawit disana.
"Apalagi menuding secara spesifik sawit sebagai biang karhutla sangat tidak tepat. Seolah dengan menuding sawit dan perusahaan sawit jadi trend walau tak didukung fakta dan pemahaman. Dengan stigma buruk ini akan menambah amunisi Uni Eropa menhadang sawit Indonesia. Petani dan buruh sawit akan jadi korban pertama. Harga akan terus merosot. Petani limbung dan buruh terancam PHK,” tegasnya.
Sisi lain, atas nama kearifan lokal masih ada aturan KLHK yang justru membolehkan membuka lahan dengan membakar.
"Syaratnya luas lahan kurang 2 ha. Pertanyaannya? Di musim kemarau angin kencang, siapa yang mampu mengontrol api. Justru jadi musibah ke depannya,” pungkasnya. (Abdul Hafiz)
Area lampiran