HUT Brimob ke 73

HUT Brimob ke-73: Kisah Panglima Legendaris Brimob Tak Tergoda Emas Hingga Dihormati Prabowo

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komjen Moehammad Jasin.

Kisah Panglima Legendaris Brimob Diberi Hormat Prabowo Hingga Tak Tergoda Berkilo-kilo Emas dan Permata

TRIBUNSUMSEL.COM-Hari ini 14 November 2018, jajaran Korps Brimob memperingati hari jadinya yang ke 73.

Berbicara mengenai Brimob tentu tak bisa di lepaskan dari kepolisian Republik Indonesia.

Ada anekdot yang kini sudah tak asing lagi terdengar soal polisi.

Baca: Hati-hati dengan Orang tak Dikenal Minta Rokok, Warga Palembang ini jadi Korbannya

Katanya, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng Imam Santoso.

Ternyata dalam sejarahnya, pimpinan Polri bukan hanya Jenderal Hoegeng saja  yang dikenal karena kejujurannya.

Ada cerita lain soal sosok polisi jujur dan berani yaitu kisah pendiri Korps Brimob Komjen Pol Mohammad Jasin.

Komisaris Jenderal Polisi Dr. H. Muhammad Yasin (lahir di Baubau, Sulawesi Tenggara, 9 Juni 1920 dan meninggal di Jakarta, 3 Mei 2012pada umur 91 tahun).

Muhammad Yasin menghembuskan nafas terakhir pada hari Kamis tanggal 3 Mei 2012 pukul 15.30 WIB.

Almarhum tutup usia dalam usia 92 tahun di RS Polri Kramat Jatim dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Satu-satunya Pahlawan Nasional dari jajaran kepolisian ini dikenal dengan kejujurannya dan bahkan tak tergiur emas dan permata rampasan perang  yang jumlahnya berkilo-kilogram yang ada dalam kekuasaannya.

Dikutip dari ntmcpolri.info, ceritanya pada penghujung tahun 1945, berbarengan dengan Pertempuran 10 November, situasi di Surabaya panas.

Persaingan antar satuan dan tokoh-tokoh militer memanas. Walau sama-sama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Republik Indonesia, saling bunuh atau saling culik biasa terjadi.

Motifnya sepele, soal pribadi atau berebut pengaruh.

Saat itu Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Karesidenan Surabaya, Mayor Sabarudin sangat ditakuti.

Kelakuan Sabarudin ini ibarat koboi. Enteng saja dia menembak mati dan memenggal orang-orang yang dianggapnya mata-mata Belanda. Sabarudin juga dikabarkan mengkorupsi dana perjuangan.

Dia gemar mengumpulkan tahanan wanita-wanita Belanda untuk dijadikan sebagai gundik.

Tak ada yang berani menegur apalagi menghukum Sabarudin atas kelakuannya yang beringas.

Puncaknya Sabarudin menculik Mayor Jenderal Mohammad. Seorang petinggi TKR di Surabaya.

Alasannya karena Mohammad yang bertanggung jawab atas urusan dana perjuangan ini tidak memberinya uang.

Mohammad berpendapat Sabarudin tidak dapat mempertanggungjawabkan dana perjuangan yang diberikan pada kesatuannya.

Maka markas besar angkatan perang merasa perlu mengambil tindakan tegas. Jenderal Soedirman sendiri yang memanggil Inspektur Polisi Jasin ke Yogyakarta.

Jasin adalah Komandan P3 atau Pasukan Polisi Perjuangan, saat ini disebut Brigade Mobil atau Brimob.

Soedirman memerintahkan Jasin melucuti pasukan Sabarudin dan menangkapnya.

Jasin sempat bertanya mengapa tugas ini tidak dberikan pada Angkatan Darat?

“Pimpinan Divisi Tentara itu takut pada Mayor Sabarudin. Oleh karena itu saya memberikan tugas itu pada Saudara Jasin. Panglima besarlah yang bertanggung jawab,” demikian jawaban Sudirman seperti ditulis dalam buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 2010.

Maka Jasin pun mengumpulkan pasukannya di Surabaya dan menggerebek Markas Mayor Sabarudin.

Tanpa perlawanan Sabarudin menyerah. Pasukan Jasin pun menahan dan melucuti mereka.

“Dalam penggerebekan itu ditemukan delapan wanita Eropa yang sedang hamil dan empat besek penuh perhiasan emas dan berlian. Wanita dan emas itu diduga dirampas dari kamp-kamp tahanan bangsa Eropa,” kata Jasin.

Melihat emas dan berlian yang melimpah ruah itu Jasin tak tergoda.

Sebenarnya bisa saja dia mengambil benda berharga tersebut.

Apalagi saat itu suasana perang, Markas Tentara pun tak tahu jika Sabarudin memiliki kekayaan berlimpah.

Tapi sebagai perwira polisi, Jasin punya integritas. Dia menyerahkan semuanya pada atasannya.

“Semua itu diserahkan sebagai bukti pada Dewan Pertahanan Surabaya di Mojokerto. Bagaimana selanjutnya penanganan hasil rampasan itu saya tidak tahu,” kata Jasin.

Sementara Sabarudin akhirnya diadili dan diputus bersalah. Dia dihukum penjara.

Sang Mayor yang Kejam Sekaligus Ditakuti

Dikutip dari Historia. id, Pada 1945, Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Zainal Sabarudin menangkap Soerjo, seorang bekas shudancho, di Sidoarjo.

Dia menuduh Soerjo, dengan bukti selembar foto yang menampilkan Soerjo bersanding dengan Ratu Wilhelmina, sebagai spion Belanda. 

Sabarudin lalu menggelandang Soerjo ke alun-alun Sidoarjo lantas mengikatnya ke tiang.

Tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut, Sabarudin menembaknya dalam jarak dekat. Tembakan itu tak mengakhiri hidup Soerjo.

“Sabarudin mengambil samurai Jepang dan menebas leher pemuda itu hingga tewas,” tulis Moehammad Jasin dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang.

Kekejaman Sabarudin melegenda. Hampir semua orang di Surabaya dan Sidoarjo yang hidup pada zaman revolusi pernah mendengar kisah kebengisannya.

Dia sewenang-wenang memperlakukan musuh-musuhnya, tawanan perang, bahkan rekan sendiri. Demi menghabisi lawan-lawannya, dia tak ragu melontar fitnah, termasuk kepada Soerjo, sahabatnya.

Soerjo memang pernah berfoto bersama Ratu Wilhelmina. Namun foto itu diambil semasa dia sebagai anggota Kelompok Kepanduan Hindia Belanda (NIPV) turut dalam jambore ke Negeri Belanda.

Menurut Suhario Patmodiwiryo yang akrab disebut Hario Kecik dalam Si Pemburu, volume 2, alasan pembunuhan itu ialah “rivalisme antara Sabarudin dan Soerjo pribadi dalam masalah memperebutkan seorang puteri Bupati Sidoarjo.” Bukti foto hanyalah alat untuk menggeret Soerjo ke lapangan penghabisan.

Zainal Sabarudin Nasution lahir di Kotaraja, Aceh, pada 1922. Sesudah menamatkan sekolah menengah pertama (MULO), dia bekerja sebagai karyawan di kantor kabupaten merangkap penata buku di sebuah perkebunan gula di Sidoarjo.

Semasa pendudukan Jepang dia didapuk sebagai komandan kompi Pembela Tanah Air (PETA) di kota yang sama.

Usai proklamasi, Sabarudin ditunjuk menjadi kepala PTKR. Mula-mula berpangkat kapten, kemudian mayor. Dia bertugas mengawasi tawanan Jepang, orang-orang Belanda yang meninggalkan kamp dan datang ke Surabaya, serta orang Indonesia yang jadi tahanan.

Kepada para tawanan yang tak disukainya, Sabarudin berlaku brutal. Para penentangnya disiksa dan dibunuh, bahkan dengan cara eksekusi yang keji.

Menurut Jasin, Sabarudin tega “mengikat orang yang ditangkap pada dua ekor kuda yang kemudian dilarikan ke arah berlawanan. Akibatnya, badan orang itu terputus menjadi dua dan mati. Ada pula yang disirami dengan bensin dan dibakar habis.”

Bahkan Sabarudin menjadikan tawanan-tawanan perempuan sebagai budak. “Perempuan-perempuan muda Indo-Eropa dijadikan harem-haremnya,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid IV.

Kejam Sekaligus Dipuja
MESKI kejam, Sabarudin memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya.

“Rahasia kepemimpinannya adalah, dia mampu menghadapi dan memenuhi kebutuhan anak buahnya, meskipun untuk itu bila perlu ditempuh lewat cara yang ilegal,” tulis Moehkardi, pengajar sejarah Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri), dalam biografi R. Mohamad dalam Revolusi 1945 Surabaya. 

Markas Besar Angkatan Perang tampaknya berang dengan ulah semena-mena Sabarudin. Dalam keterangan di bukunya, Moehammad Jasin mendapat perintah dari Jenderal Soedirman untuk menangkap Sabarudin.

Perintah itu terlaksana. Sabarudin menyerah dalam pengepungan di Jawa Timur.

Lewat pengadilan militer di Yogyakarta, Sabarudin dijatuhi hukuman penjara. PTKR dibubarkan.

Dari penjara di Wirogunan, Yogyakarta, Sabarudin dipindah ke penjara Magelang. Semasa di penjara, pada 21 Juli 1947, Ambarawa diduduki Belanda.

Sabarudin memanfaatkan situasi gawat ini dengan membujuk Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta supaya dibebaskan. Dia bahkan ditugaskan membentuk laskar dengan syarat mau ditempatkan di Jawa Barat.

Dalam waktu tak lama dia berhasil mengumpulkan kembali sekompi anak buahnya. Bukannya pergi ke Jawa Barat, Sabarudin malah kembali ke Jawa Timur.

Peristiwa PKI 1948 di Madiun membuat pemerintahan pusat memperkuat militer. Laskar Sabarudin termasuk yang ikut direhabilitasi. Kesatuannya diakui sebagai Batalion 38 di dalam sebuah brigade yang dipimpin Letkol Surachmad.

Pada 1948, ketika Tan Malaka dibebaskan dan hendak melakukan gerilya di Jawa Timur, Sabarudin adalah yang mula-mula memberikan jaminan keselamatan kepadanya.

Menurut Moehkardi, Sabarudin fanatik kepada ajaran-ajaran Tan Malaka. Pendapat itu disangkal Poeze. “Ikatannya dengan Sabarudin mustahil dan tidak bisa dipercaya. Tapi dalam revolusi berlaku kaidah-kaidah lain, dan persekutuan semacam itu bisa saja terjadi, seperti juga Revolusi bisa menawarkan kesempatan kepada orang-orang semacam Sabarudin naik ke jenjang kekuasaan,” tulis Poeze.

Gerakan Tan Malaka yang antidiplomasi dianggap membahayakan Republik. Begitu pula dengan Sabarudin yang menyertainya.

Sepeninggal Tan Malaka yang ditembak mati di Kediri, Sabarudin dan pasukannya terus berada dalam pelarian di Jawa Timur.

Meski berkali-kali diimbau menyerahkan diri, Sabarudin kukuh menolak. Bahkan pasukannya melumpuhkan Batalion Banuredjo yang dikirim Surachmad untuk mengejar Sabarudin. Mayor Banuredjo tewas di tangan anak buah Sabarudin di Kalipare, Malang Selatan.

Kematian Banuredjo menambah murka Surachmad dan para komandan brigade di Jawa Timur lainnya. Dan Sabarudin, meski berhasil meloloskan diri, makin terdesak oleh tentara yang terus mengejarnya.

November 1949 pasukannya terjepit di Kawi Selatan, Malang. Kolonel Soengkono, panglima dan gubernur militer di Jawa Timur, membujuk Sabarudin lewat surat.

Isi surat tersebut ialah perintah supaya Sabarudin menghadap Soengkono di Surabaya, hendak diajak membahas upaya perundingan gencatan senjata antara TNI-Belanda.

Kali ini Sabarudin melunak. Menurut Poeze, dia telah berniat “kembali bertindak sebagai seorang tentara yang loyal”.

Dengan menunggang kuda, Sabarudin turun gunung menuju Surabaya. Tapi sesampainya di Surabaya, Soengkono sudah bertolak ke Nganjuk, tempat dilangsungkannya perundingan gencatan senjata itu.

Sabarudin menemui tentara Belanda yang juga akan berangkat ke Nganjuk untuk perundingan. Mengingat pangkatnya yang lumayan tinggi, dia diperlakukan dengan hormat oleh Belanda. Bahkan dia difasilitasi mobil dan berbarengan dengan delegasi Belanda berangkat ke Nganjuk.

Di Nganjuk, usai perundingan, Soengkono mengajak Sabarudin menuju markasnya di Ngluyu, juga di kabupaten yang sama.

Pada kesempatan itu beberapa pengikutnya yang masih bersimpati turut memohon kepada Soengkono supaya Sabarudin dimaafkan. Namun, Soengkono sudah mengambil keputusan. Sabarudin ditahan.

Surachmad yang masih menyimpan dendam kepada Sabarudin turut mendengar bahwa Sabarudin hendak dihukum tahanan.

Dia menganggap hukuman itu tak tak cukup setimpal. “Ketika Surachmad mendengar kejadian tersebut, ia memerintahkan CPM (Corps Polisi Militer –red) yang di bawah komandonya untuk mengambil Sabarudin dan membawanya ke Madiun untuk diadili,” tulis Poeze.

Sekitar 24 November 1949, sesuai kehendak Surachmad, anggota CPM menyeret Sabarudin ke Madiun. “Dalam perjalanan menuju Madiun, di Wilangan, Sabarudin dieksekusi sesudah pengadilan militer di medan perang menjatuhkan hukuman mati,” tulis Poeze. Berakhirlah petualangan Sabarudin.(*)

Dihormati Prabowo

Ada kisah menarik bagaimana Jasin merasa sangat terharu. Panglima Legendaris Brimob itu tak bisa melupakan penghormatan yang diberikan Prabowo Subianto padanya.

Ketika itu, Prabowo yang masih menjabat sebagai Komandan Kopassus dan berpangkat Mayor Jenderal menghadiri HUT Polri ke-50 pada 1 Juli 1995 lalu.

Kegiatan ini digelar besar-besaran oleh Kapolri Jenderal Dibyo Widodo di Senayan,Jakarta Pusat dan dihadiri Presiden Soeharto sekaligus inspektur upacara.

Sejumlah pejabat negara, veteran, tokoh masyarakat hingga perwira ABRI ikut hadir.

Oleh panitia, Jasin ditempatkan di Tribun C bersama perwira tinggi ABRI dari ketiga angkatan serta Polri.

Di tengah-tengah mereka juga terdapat Prabowo dengan lokasi duduknya hanya berjarak enam deret dari kursi Jasin.

Peringatan HUT Polri pun berlangsung hingga akhirnya menampilkan pembangunan Polri. Di saat bersamaan, melalui pengeras suara terdengar kalimat, "Pada 21 Agustus 1945 di Surabaya, inspektur Polisi Moehammad Jasin turun ke jalan bersama pasukan-pasukan Polisi Istimewa yang berbobot tempur berlaku patriotik bagi Republik Indonesia,"

Tanpa disangka-sangka, Prabowo mendekat ke kursi Jasin. Secara spontan dan tidak masuk dalam rangkaian acara, Prabowo berdiri tegap dan mengambil sikap hormat sempurna.

Tindakan Prabowo itu kemudian diikuti oleh hampir seluruh jenderal, Laksamana dan Marsekal yang hadir.

Melihat itu, Jasin mengaku sangat terharu.

Dia mengaku tidak pernah mengharapkan perlakuan tersebut.

Kisah tersebut ditulis dalam buku 'Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia' yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 2010.

"Itu adalah bukti bahwa generasi muda masih menghargai generasi pejuang kemerdekaan," kata Jasin memuji sikap Prabowo.

Berita Terkini