Tidak Mengungsi, Lelaki Dewasa Justru Sambut Tumpahan Lahar Gunung Agung

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gunung Agung ketika meletus pada tahun 1963 (foto kiri). Gunung Agung kini berstatus awas, Sabtu (23/9/2017), sebelumnya ditetapkan berstatus siaga pada, Senin (18/9/2017). Tampak pemetaan dari atas area Gunung Agung dengan beberapa area di sekitarnya (foto tengah). Kondisi Gunung Agung saat status Siaga (foto kanan).

Aliran Lava : Lava yang meleler antara 19 Pebruari dan 17 Maret 1963 mengalir dari kawah utama di puncak ke utara, lewat tepi kawah yang paling rendah, berhenti pada garis ketinggian 505,64 m dan mencapai jarak lebih kurang 7.290 m. Isi lava tersebut ditaksir sebanyak lebih kurang 339,235 juta m3.

Bahan Lepas : Terdiri dari bom gunungapi, lapili, pasir dan abu, baik berasal dari awan panas letusan maupun dari ledakan kawah pusat. Jumlah seluruhnya selama roda kegiatan berlangsung : Eflata (bom, pasir dan abu) lebih kurang 380,5 . 106 m3, Ladu lebih kurang 110,3 . 106 m3.

Awan Panas Gunung Agung : Di Gunung Agung terdapat dua macam awan panas, yakni awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan terjadi pada waktu ada letusan besar. Pada waktu itu maka bagian bawah dari tiang letusan yang jenuh dengan bahan gunung api melampaui tepi kawah dan meluncur ke bawah. Bergeraknya melalui bagian yang rendah di tepi kawah, ialah lurah dan selanjutnya mengikuti sungai. Kecepatan dari awan letusan ini menurut pengamatan dari Pos Rendang adalah rata-rata 60 km per jam dan di sebelah selatan mencapai jarak paling jauh 13 km, yakni di Tukad Luah dan di sebelah utara 14 km di Tukad Daya.

Menurut Suryo (1964) selanjutnya, awan panas guguran adalah awan panas yang sering meluncur dari bawah puncak (tepi kawah). walaupun tidak ada letusan dapat terjadi awan panas guguran. Dapat pula terjadi apabila terjadi bagian dari aliran lava yang masih panas gugur, seperti terjadi pada waktu lava meleler di lereng utara.

Daerah yang terserang awan panas letusan pada kegiatan 1963 terbatas pada lereng selatan dan utara saja, karena baik di barat maupun di sebelah timur kawah ada sebuah punggung. Kedua punggung ini memanjang dari barat ke timur. Awan panas letusan yang melampaui tepi kawah bagian timur dipecah oleh punggung menjadi dua jurusan ialah timur laut dan tenggara. Demikian awan panas di sebelah barat dipecah oleh punggung barat ke jurusan baratdaya dan utara. Awan panas letusan yang terjadi selama kegiatan 1963 telah melanda tanah seluas lebih kurang 70km2 dan menyebabkan jatuh 863 korban manusia.

Korban Kegiatan Gunung Agung
Menurut Suryo (1965, p.22-26) ada 3 sebab gejala yang menyebabkan jatuh korban selama kegiatan Gunung Agung dalam 1963, yakni akibat awan panas, piroklastika dan lahar. Akibat awan panas meninggal 820 orang, 59 orang luka. Akibat Piroklastika meninggal 820 orang, luka 201 orang. Akibat lahar meninggal 165 orang, 36 orang luka.

Kehebatan dan Energi : Kusumadinata (1964) telah menghitung energi dan kehebatan letusan Gunung Agung tahun 1963 dengan hasil sebagai berikut : kehebatan di level 4, Volume bahan letusan 0.83 km3, berat jenis 2,3 (d), Energi kalor yang dilepaskan 2,189.1025 erg (Eth), Kesetaraan bom atom : 2605,9 (Ae), Kebesaran letusan 8,99.

Dari catatan dan wawancara tim expedisi Ring of Fire, ada beberapa kisah memilukan juga “kemanusiaan” saat gunung Agung ini meletus, ini petikan dari hasil wawancara nya :
PURA di Badeg Dukuh dan Sogra hancur. Hampir seluruh bangunan ambruk diterjang awan panas. Menurut catatan Kusumadinata (1963), awan panas pagi itu telah menewaskan 109 warga Badeg Dukuh dan 102 warga Sogra.

Bagi sebagian orang, sikap warga Sogra dan Badeg mungkin dianggap mencari mati. Namun, tidak bagi masyarakat Bali waktu itu. Badeg Dukuh, menurut budayawan Bali, Cok Sawitri, memang bukan perdukuhan biasa. ”Kepala dukuhnya seperti juru kunci Gunung Agung, seperti Mbah Marijan (di Gunung Merapi, Yogyakarta). Dia bertugas berkomunikasi dengan Gunung Agung. Saat meletus, dia memang tak mau mengungsi,” katanya.

Budayawan yang berasal dari Karangasem ini pernah bertemu dengan saksi mata yang mengevakuasi korban awan panas di Badeg Dukuh. ”Mereka bilang, di pura itu seperti upacara penyambutan, semacam odalan. Saat ditemukan, para korban dalam posisi duduk menabuh gamelan. Kepala dukuh duduk dengan genta masih di tangan. Dia berdoa,” katanya.

Semua korban, menurut Cok Sawitri, berlapis debu. ”Saat disentuh langsung hancur.”

Cok yakin, orang-orang yang tewas di pura Badeg Dukuh itu sengaja menyambut letusan. ”Itu barangkali ungkapan kesetiaan sebagai kuncen,” katanya.

Keyakinan Cok Sawitri itu didasari cerita dari pamannya, Tjokorda Gde Dangin, yang pada saat letusan menjadi Perbekel Desa Sidemen, sekitar 20 kilometer dari Badeg Dukuh. Menjelang letusan pada Minggu pagi itu, anak-anak dari Badeg Dukuh, termasuk anak dari Kepala Badeg Dukuh, datang ke rumah Gde Dangin. Mereka meminta izin mengungsi di Sidemen karena Gunung Agung dipercaya akan meletus hebat.

”Paman lalu bertanya, bapak kalian mana?” kisah Cok Sawitri.

Anak-anak itu menjawab, ayah mereka tidak ikut karena harus mengiringi perjalanan Bathara Gunung Agung menuju samudra. ”Barangkali orang-orang di Badeg Dukuh itu disuruh memilih, mau menyambut letusan gunung itu atau mengungsi,” kata Sawitri.

Halaman
1234

Berita Terkini