Meski demikian, saran tersebut tak diindahkan.
Singkat cerita, pada 25 Desember 1948 pasukan Jenderal Soedirman tiba di Kediri.
Suasana kota sangat riuh dan bergemuruh.
Sedangkan pasukan Belanda berada di puncak semangat lantaran baru saja meruntuhkan benteng pertahanan kota itu dari selatan.
Pasukan Belanda tiba-tiba menyergap markas persembunyian Jenderal Soedirman atas petunjuk salah seorang telik sandi.
Pasukan penjajah memang bersumpah akan menangkap Soedirman hidup atau mati, apapun caranya, menyusul semangat sang panglima besar menggelorakan perlawanan.
Seorang prajurit melapor kepada Jenderal Sudirman bahwa Belanda telah mengepung rapat tempat persembunyian mereka.
Sejurus kemudian, jenderal besar ini mengajak para prajuritnya untuk menggelar dzikir dan tahlil.
“Mari kita berdzikir agar diberi pertolongan Allah. Jangan sekali-sekali di antara tentara kita ada yang menyalahi janji menjadi pengkhianat nusa, bangsa, dan agama. Harus kamu senantiasa ingat bahwa perjuangan selalu memakan korban. Jangan sekali-kali membuat rakyat menderita,” ujar Pak Dirman yang diperankan sang cucu, Ganang Priambodo Soedirman.
Pak Dirman tahu ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda bahwa ia adalah Jenderal Soedirman.
Anehnya, tentara Belanda tidak percaya bahkan menembak mati pengkhianat tersebut.
Pak Dirman memang ahli strategi mengecoh lawan.
Ia tak gentar menghadapi penjajah.
Ketika Belanda menyerang markasnya, mereka gagal menangkap sang jenderal.
Setelah kejadian tersebut, banyak anak buah Pak Dirman yang menanyakan jimat apa yang dipakai sehingga tentara Belanda sulit menangkapnya.
Sang Panglima Besar hanya menyebut tiga hal: tidak pernah putus dari keadaan wudhu, shalat lima waktu tepat waktu, dan mengabdikan diri bukan untuk keluarga, golongan, atau partai, tapi untuk bangsa dan negara. (Dikutip dari NU.or.id)