BPJS Kesehatan Butuh Suntikan Dana

Editor: Weni Wahyuny
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah warga antre mendaftar BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) di Kantor BPJS Jalan Proklamasi, Pegangsaan, Jakarta Pusat, Rabu (24/9/2014). Sejak diberlakukan program BPJS Kesehatan, warga rela antri untuk mendapatkan pelayanan pendaftaran.

TRIBUNSUMSEL.COM, JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan akan mengalami defisit likuiditas Rp 5,85 triliun akhir 2015. Hal itu bisa mengganggu pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional.

Solusi yang disepakati Kementerian Keuangan dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat adalah menyuntik dana Rp 1,54 triliun.

Persoalan likuiditas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu dipaparkan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris pada rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Kamis (15/10) malam. Pembahasan yang dipimpin Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad itu tuntas sekitar satu jam.

Pembahasan BPJS Kesehatan tersebut tak diagendakan khusus, tetapi disisipkan menjelang akhir pembahasan tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Sebelumnya, pimpinan Komisi XI DPR dan Bambang menggelar rapat tertutup selama sekitar 15 menit.

Menurut Bambang, BPJS Kesehatan mengalami kesulitan likuiditas karena melonjaknya kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Untuk itu, dalam jangka pendek, BPJS Kesehatan butuh suntikan dana.

Pihak BPJS Kesehatan diperkirakan mengalami defisit anggaran Rp 5,85 triliun pada akhir 2015. Pendapatan diperkirakan Rp 53,37 triliun, sedangkan pengeluaran mencapai Rp 57,19 triliun. Sementara aset neto (bersih) akhir 2014 sudah mencatatkan defisit Rp 3,3 triliun.

Menurut Bambang, APBN Perubahan (APBN-P) 2015 telah mengalokasikan cadangan pembiayaan untuk BPJS Kesehatan senilai Rp 1,54 triliun. Cadangan pembiayaan itu yang diajukan untuk mendapat persetujuan Komisi XI DPR agar diubah jadi pembiayaan. Tujuannya agar anggaran itu bisa langsung disuntikkan ke BPJS Kesehatan.

"Kami berharap cadangan itu bisa menjaga tingkat kesehatan dari jaminan kesehatan nasional, serta menjamin tersedianya dana likuiditas untuk membayar klaim fasilitas kesehatan," kata Bambang menegaskan.

Melalui suntikan dana sebesar Rp 1,54 triliun, defisit aset neto BPJS Kesehatan akhir 2016 akan berkurang jadi Rp 4,3 triliun. Meski masih defisit, setidaknya likuiditas BPJS Kesehatan terbantu.

Pengelolaan dikritik

Meski demikian, Bambang mengkritik sistem pengelolaan keuangan oleh BPJS Kesehatan. Salah satunya adalah BPJS Kesehatan belum intensif menjalin koordinasi manfaat dengan asuransi kesehatan swasta.

Padahal, melalui kerja sama itu, pekerja badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta bisa terdaftar dalam kelompok pekerja penerima upah pada JKN. Skema subsidi silang itu bisa menyelamatkan keuangan BPJS Kesehatan.

Sementara itu, Fachmi menjelaskan, penyebab kesulitan likuiditas itu adalah melonjaknya kepesertaan JKN. Hal tersebut terutama terjadi pada kelompok pekerja bukan penerima upah.

Mereka adalah pekerja yang tak punya jaminan kesehatan tetapi tak masuk kelompok penerima bantuan iuran (PBI) dari pemerintah. Mereka juga belum mampu membayar asuransi kesehatan swasta sehingga minat kelompok masyarakat tersebut membeludak saat JKN diluncurkan.

Fachmi mengakui, ada kekeliruan proyeksi kepesertaan kelompok itu. Realisasinya jauh melampaui proyeksi. Dari kisaran 500.000-600.000 orang pada 2014, kini tumbuh sampai sekitar 10 juta orang. Pihak BPJS Kesehatan tidak mungkin menolak kepesertaan masyarakat.

Halaman
12

Berita Terkini