Sambeyang Rame : Merawat Kekayaan Arsitektur Tradisional Sumatra Selatan
Sumatra Selatan memiliki ragam kekayaan arsitektur tradisional yang tersebar pada daerah hulu dan hilir.
TRIBUNSUMSEL.COM - Sumatra Selatan memiliki ragam kekayaan arsitektur tradisional yang tersebar pada daerah hulu dan hilir.
Guna melestarikan warisan budaya tersebut, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI bersama Universitas Sriwijaya menyelenggarakan pameran arsitektur tradisional pada 7-9 November di Atrium OPI Mal, Jakabaring.
Sumatra Selatan merupakan sebuah provinsi dengan sejarah kebudayaan yang panjang, mulai dari periode prasejarah, Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Palembang-Kesultanan Palembang Darussalam, masa kolonial, masa kemerdekaan, sampai dengan masa modern saat ini.
Keragaman budaya di Provinsi Sumatra Selatan merupakan perpaduan dari 23 (dua puluh tiga) suku bangsa yang tersebar di seluruh daerah dan pengaruh dari etnis Cina, Arab, India, dan Belanda.
Di tengah kekayaan keragaman budaya ini, bangunan rumah merupakan salah sebuah hasil kebudayaan dari sebuah suku bangsa. Ragam suku di Sumatra Selatan menghasilkan banyaknya ragam rumah tradisional.
Berdasarkan kondisi geografis Provinsi Sumatra Selatan, rumah tradisional dapat dibagi menjadi rumah iliran dan rumah uluan. Palembang yang merupakan pusat pemerintahan berada di daerah Iliran dengan beberapa kekhasan rumah tradisional, yaitu Rumah Limas, Rumah Cara Gudang, dan Rumah Rakit.
Rumah Limas memiliki karakter bangunan panggung bermaterial kayu yang menyesuaikan dengan kondisi budaya dan lingkungan geografis sekitar.
Rumah Limas merupakan rumah bongkar pasang yang dapat dipindahkan ke lokasi lain dengan konstruksi yang khas tanpa sambungan paku yang fleksibel dan dinding yang tidak memikul beban.
Rumah Limas berfungsi sebagai tempat tinggal dan perayaan. Komposisi ruangan dalam Rumah Limas adalah pagar tenggalung, jogan, kekijing, gegajah, pawon dan garang.
Rumah Limas memiliki beberapa perbedaan ketinggian lantai yang disebut dengan kekijing yang memiliki makna dan fungsi lebih spesifik. Lantai tertinggi diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki peringkat tertinggi dan berkarakter privasi, sementara lantai terendah adalah untuk masyarakat biasa dan berkarakter publik.
Selain Rumah Limas, juga terdapat Rumah Gudang. Rumah ini merupakan rumah tradisional di Kota Palembang yang sudah mendapatkan pengaruh dari budaya Eropa.
Hal ini terlihat dari sistem struktur dan konstruksi yang sudah menggunakan paku dan kuda-kuda pada atap. Sebaran Rumah Gudang tidak hanya di Kota Pelembang tetapi sudah menyebar ke seluruh daerah di Provinsi Sumatra Selatan. Rumah Gudang berbentuk rumah panggung yang beradaptasi dengan kondisi alam di Kota Palembang berupa rawa. Konsep panggung digunakan untuk menghindari kerusakan karena genangan air atau banjir.
Rumah uluan
Sementara daerah di luar Palembang lebih dikenal dengan daerah Uluan dan memiliki beberapa rumah tradisional yang disebut Rumah Ulu.
Beberapa rumah yang tergolong kategori ini antara lain Ghumah Baghi di Kota Pagaralam, Kabupaten Lahat dan Muara Enim; Lamban Cara Ulu di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur; Lamban Tuha di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan; dan Lamban Ulu Ogan di Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Ghumah Baghi merupakan salah satu hasil kebudayaan Suku Besemah yang mendiami daerah sekitar Gunung Dempo, Kota Pagaralam dan menyebar ke sekitar Kabupaten Lahat. Rumah dengan karakter yang sama juga ditemukan di Kabupaten Muara Enim. Ghumah Baghi memiliki beberapa tipe dan pembagian seperti berdasarkan tingkat ekonomi pemilik rumah, yakni Rumah Tatahan, Rumah Gilapan, Rumah Padu Kingking (Tingking), dan Rumah Padu Ampar (Ampagh).
Selain Ghumah Baghi, terdapat Lamban Ulu Ogan yang merupakan salah satu ragam dari rumah uluan di wilayah Sumatra Selatan.
Rumah ini juga merupakan salah satu produk kebudayaan Suku Ogan yang tersebar di sepanjang Sungai Ogan di Desa Mendale, Peninjauwan, dan Saung Naga.
Lamban Ulu Ogan merupakan rumah tradisional dengan material batu, genteng tanah liat, kayu, dan bambu. Batu digunakan sebagai “pondasi”; kayu digunakan mulai dari tiang dan balok kolong, rangka dan penutup lantai, rangka dan penutup dinding, bukaan, rangka dan penutup plafon, dan rangka atap; bambu digunakan pada rangka lantai; dan genteng tanah liat sebagai penutup atap.
Sementara pada Suku Ranau yang mendiami daerah sekitar Danau Ranau, terdapat rumah tradisional yang dikenal sebagai Lamban Tuha adalah rumah tradisional Suku Ranau. Saat ini, jumlah rumah tradisional ini sangat minim, hanya berjumlah 3 (tiga) rumah.
Salah satu Lamban Tuha adalah milik keturunan “puyang” yang sudah dihuni oleh 11 (sebelas) generasi. Rumah ini mampu bertahan dari bencana gempa bumi besar pada tahun 1933.
Sumatra Selatan juga memiliki Lamban Cara Ulu yang merupakan rumah tradisional Suku Komering. Rumah ini tersebar di sepanjang Sungai Komering. Salah satu desa dengan jumlah Lamban Cara Ulu yang banyak adalah Desa Minanga, Kecamatan Semendawai Barat I, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur.
Rumah ini terdiri dari bagian kolong yang merupakan bagian rumah berbentuk panggung dengan ketinggian antara 170-200 cm. Bagian ini digunakan untuk gudang bahan bakar kayu dan kandang hewan ternak.
Selain itu, terdapat bagian tengah sebagai wadah hunian, yang merupakan bagian yang berbentuk bujur sangkar dengan ketinggian antara 270-300 cm.
Sementata di bagian atas, terdapat atau yang berbentuk limas segi empat dengan ketinggian antara 400-550 cm. Pemanfaatan bagian ini adalah tempat penyimpanan pusaka, masakan saat upacara, dan gudang peralatan.
Mewakili zaman
Kekayaan arsitektur tradisional juga dapat dilihat pada daerah Musi Banyuasin. Musi Banyuasin memiliki cagar budaya berupa Rumah Putih Pintu Gribik, Rumah Batu, dan Rumah Panggung dalam satu kompleks yang sama di Desa Ngulak. Rumah ini merupakan simbol perpaduan arsitektur lintas zaman di Sumatra Selatan.
Rumah pertama di kompleks ini dikenal dengan sebutan Rumah Putih yang terletak di sisi paling kiri dari deretan tiga rumah milik Pangeran H. Anang Mahidin.
Rumah ini merupakan bangunan tertua di antara ketiganya yang di bangun oleh Pangeran H. Umar. Rumah ini di bangun pada tahun 1883 sejak masa pemerintahan Pangeran M. Umar dan telah berusia 142 tahun.
Selain itu, terdapat juga Rumah Batu. Rumah Batu merupakan bangunan utama dalam kompleks ini dan menjadi kediaman pribadi Pangeran H. Anang Mahidin.
Rumah ini di bangun pada tahun 1937 .Ciri khas rumah ini adalah perpaduan gaya arsitektur kolonial Belanda (Indisch) dan unsur tradisional Palembang.
Rumah putih pintu gribik juga dapat dijumpai di kompleks ini. Dahulu, rumah ini dijadikan sebagai tempat musyawarah dan kegiatan adat marga Sanga Desa. Secara arsitektural, rumah ini menampilkan bentuk rumah limas tradisional Palembang yang sederhana namun berwibawa, mencerminkan status sosial penghuninya.
Ruang dalamnya luas tanpa banyak sekat, menunjukkan fungsinya sebagai ruang komunal. Material utamanya berupa kayu tembesu dan kayu unglen, dua jenis kayu khas Sumatra Selatan yang terkenal kuat dan tahan lama. Cat putih yang sempat mendominasi dinding luar rumah inilah yang memberi nama “Rumah Putih.”
Pameran
Guna melestarikan ragam bangunan tradisional ini, Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VI Sumatra Selatan bekerja sama dengan Universitas Sriwijaya (Unsri) melaksanakan pameran warisan budaya pada tanggal 7-9 November 2025 di Atrium Opi Mall, Palembang.
Pameran bertajuk “Sambeyang Rame” ini akan menampilkan secara khusus arsitektur tradisional dari berbagai daerah di Sumatra Selatan.
Sambeyang Rame bermakna gotong-royong atau saling bahu-membahu. Melalui slogan ini, BPK Wilayah VI dan Unsri membawa pesan bahwa dibutuhkan kerja sama dari berbagai lapisan masyarakat untuk melestarikan warisan budaya, khususnya arsitektur tradisional di Sumatra Selatan.
Pada pameran tahun ini, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI akan menghadirkan ragam bangunan tradisional melalui sembilan miniatur bangunan yang telah disiapkan. masyarakat Sumatra Selatan melihat secara langsung setiap maket bangunan tradisional secara gratis. Bahkan, BPK Wilayah VI bersama Universitas Sriwijaya juga telah menyiapkan informan pada pameran yang dapat menjelaskan konsep dan makna pada setiap bangunan.
Selain menghadirkan maket bangunan tradisional, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI juga memanfaatkan pameran ini sebagai ruang budaya dan ruang dialog untuk mendiskusikan tentang arsitektur tradisional di Sumatra Selatan. Penampilan kesenian tradisional, lomba, hingga dialog tentang bangunan tradisional diselenggarakan sebagai upaya pelestarian.
| Unsri dan BRIN Teken Kerja Sama Distribusi Informasi Riset dan Inovasi |
|
|---|
| Kontes Literasi Bahasa ke-X FKIP Unsri Jadi Wujud Transformasi Literasi di Era Digital |
|
|---|
| Fakultas Hukum Unsri Launching 65 Buku Ilmu Hukum di Dies Natalis ke-65, Bakal dapat Rekor MURI |
|
|---|
| Pakai Jilbab, Pemuda Nyamar Jadi Wanita Demi Masuk Asrama Mahasiswi Unsri, Terciduk Satpam & Viral |
|
|---|
| Penyelidikan Perundungan Maba Unsri Rampung, Nasib Pelaku Tunggu Hasil Pleno Rekomendasi ke Rektor |
|
|---|
