Berita Adv

Resiliensi Budaya di Ruang Kemerdekaan

Tempias cahaya matahari sayup mengisi ruang-ruang di rumah kayu yang ditempati Ahmad Zakaria (51). Jelang siang nan kian terik, setiap sud

Editor: Moch Krisna
IST
Telok Abang, Warisan Budaya Takbenda Indonesia asal Sumatra Selatan. Sumber: Dokumentasi BPK Wilayah VI 

Warisan maritim

            Selain telok abang, perayaan kemerdekaan di Kota Palembang juga kerap dihiasi oleh warisan budaya lainnya seperti telok ukan (telur bebek), telok pindang (telur ayam), hingga perlombaan bidar. Warisan budaya ini masih kerap muncul sepanjang bulan Agustus dalam rangka memperingati hari kemerdekaan. 

            Salah satu warisan budaya yang selalu dinanti oleh masyarakat pada peringatan hari kemerdekaan adalah perlombaan bidar. Bidar merujuk pada perahu yang telah digunakan sejak periode Kedatuan Sriwijaya. Dahulu, perahu ini digunakan untuk mengawasi sekitar area perairan Sungai Musi. 

Abdullah Saleh (1987), dalam buku “Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Sumatera Selatan” menyebutkan, terdapat tiga jenis perahu yang berkaitan dengan perlombaan. Pertama adalah bidar kecik atau yang juga sempat dikenal dengan nama bidar mini. Perahu ini biasanya didayung oleh 11 orang. Dahulu, bidar kecik jamak digunakan oleh pelajar untuk latihan mendayung. Perahu ini juga dimanfaatkan sebagai pengiring perlombaan bidar.

            Perahu kedua disebut sebagai bidar pecalangan. Perahu ini biasanya dapat didayung oleh 35 orang dan juga digunakan dalam lomba perahu bidar. Masyarakat lokal juga mengenal secara lebih luas perahu jenis ini karena digunakan dalam perlombaan.

            Terakhir adalah bidar, yakni sebutan untuk perahu dengan panjang hingga 26 meter. Dibandingkan perahu jenis lainnya, inilah perahu dengan ukuran terpanjang yang mampu memuat antara 57-58 orang pendayung. Perahu tipe ini digunakan setiap tahun di Sungai Musi untuk perlombaan. 

            Dalam tradisi lisan yang diwariskan, perlombaan perahu bidar ini dikaitkan dengan legenda Putri Dayang Merindu. Perlombaan perahu bidar merupakan upaya yang dilakukan oleh dua orang pria yang tengah memperebutkan hati Putri Dayang Merindu. Sayangnya, tidak ada pemenang dalam perlombaan ini karena kedua pria tersebut ditemukan tak bernyawa setelah perahu bidar terbalik. Untuk mengenang peristiwa ini, maka tradisi perahu bidar tetap dilaksanakan. 

            Pada era pemerintahan kolonial, perahu bidar digunakan sebagai sarana hiburan untuk peringatan tertentu. Pada era pemerintahan Belanda, misalnya, perlombaan bidar dilakukan untuk memperingati hari lahir Ratu Belanda. Sementara pada era pendudukan Jepang, perlombaan bidar digunakan untuk memperingati hari besar kebangsaan Jepang. Pada periode kemerdekaan, perlombaan bidar tetap eksis dan digunakan untuk memperingati hari kemerdekaan (Saleh, 1987). 

            Pada tahun 2016, bidar telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Penetapan ini sekaligus merupakan pengakuan terhadap eksistensi warisan kebudayaan maritim di Sumatra Selatan.

 

Daya lenting

            Ragam warisan budaya yang muncul di tengah riuh perayaan kemerdekaan menunjukkan bahwa ekosistem kebudayaan tetap bergema di ruang publik. Eksponen budaya dari berbagai penjuru masih saling berkait untuk bahu-membahu sebagai bagian dari ekosistem pelestarian warisan budaya itu sendiri. Tak hanya saat perayaan bulan kemerdekaan, ekosistem budaya ini sekuat dan sebisa mungkin mencoba untuk terus hidup dan menghidupi demi mengisi ruang kemerdekaan. Inilah wujud resiliensi budaya di tengah hiruk-pikuk modernisasi. 

            Jika menilik lebih jauh, ekosistem warisan budaya ini memang tengah berhadapan dengan dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Pertama, budaya sebagai nilai luhur yang menuntut peran serta masyarakat untuk aktif dalam upaya pelestarian guna menjaga marwah keaslian budaya itu sendiri. Kedua, budaya sebagai penopang wajah kota sehingga membutuhkan kreasi dalam pengemasan. Dua hal ini adalah aspek yang saling berkelindan dalam sudut pandang eksistensi budaya di ruang publik. Di tengah kelindan inilah muncul dialektika yang mewarnai perkembangan budaya di akar rumput hingga pemangku kebijakan. 

            Diskursus yang muncul bukanlah suatu hal yang harus memicu stagnasi dari eksistensi budaya itu sendiri. Regresi budaya tidak seharusnya muncul di balik ragam perdebatan, melainkan menjelma sebagai kekayaan gagasan untuk merawat warisan budaya di tengah masyarakat. Karena bagaimanapun, budaya bukanlah subjek pasif yang berkutat pada formalitas prosedural belaka, melainkan menyentuh ranah substansial yang dapat memberi daya lenting bagi kehidupan masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri. 

Ranah substansial inilah yang mesti terus digagas dan didengungkan dalam upaya pelestarian warisan budaya. Dengan begitu, diharapkan akan kian banyak masyarakat di akar rumput yang terlibat secara substantif dalam upaya merawat warisan budaya, persis seperti yang dilakukan oleh Ahmad Zakaria, tetap bersetia menjaga marwah warisan budaya di tengah segala keterbatasan. 

(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved