Berita Adv
Resiliensi Budaya di Ruang Kemerdekaan
Tempias cahaya matahari sayup mengisi ruang-ruang di rumah kayu yang ditempati Ahmad Zakaria (51). Jelang siang nan kian terik, setiap sud
TRIBUNSUMSEL.COM -- Disadari ataupun tidak, budaya telah mengisi setiap relung dalam ruang kemerdekaan. Di tengah diskursus yang muncul, budaya tetap hidup, berkembang, dan menjadi bagian dari warisan hidup nan berurat-akar di tengah masyarakat Sumatra Selatan.
Dedy Afrianto
Analis Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI
Tempias cahaya matahari sayup mengisi ruang-ruang di rumah kayu yang ditempati Ahmad Zakaria (51). Jelang siang nan kian terik, setiap sudut rumah Zakaria mulai sesak dipenuhi bongkahan kayu gabus. Satu-dua telah dibentuk dengan pola tertentu, sementara kayu gabus lainnya masih terikat dalam bentuk bongkahan.
Kayu gabus merupakan bahan dasar dalam proses pembuatan miniatur. Setelah dibentuk, potongan kayu gabus dirangkai menyerupai bentuk kapal dan pesawat. Miniatur ini digunakan sebagai instrumen yang tak terpisahkan untuk dirangkai dengan telok abang.
Hiruk pikuk perayaan kemerdekaan memang memberikan berkah tersendiri bagi Ahmad Zakaria. Di tengah riuh-rendah aktivitas kota Palembang, Zakaria tetap konsisten mengukir karya di rumah panggung sederhana yang ia huni. Baginya, kemerdekaan menjadi ajang menggurat kreasi agar warisan budaya tetap lestari. Pilihannya tegas, melestarikan atau melupakan sama sekali.
Miniatur mainan yang dibuat oleh Zakaria merupakan bagian dari pernak-pernik untuk memeriahkan perayaan kemerdekaan Indonesia. Pada setiap miniatur, terdapat telur ayam rebus dengan cangkang yang diwarnai dengan pewarna merah.
Penggunaan telur rebus dan pewarnaan ini bukannya tanpa makna. Warna merah yang digunakan untuk pewarnaan cangkang telur melambangkan keberanian para pejuang kemerdekaan melawan penjajah. Sementara warna putih dalam cangkang telur melambangkan kesucian hati para pejuang dalam upaya mencapai kemerdekaan. Oleh masyarakat Palembang, telur rebus yang telah diberi pewarna ini disebut sebagai telok abang atau telur merah.
Dalam tradisi lisan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, telur ini juga bermakna sebagai simbol kehidupan. Sementara miniatur kapal merupakan simbol dari kehidupan masyarakat yang amat dekat dengan perdagangan maritim di pantai timur Sumatra.
Bagi Ahmad Zakaria, pembuatan miniatur dan telok abang merupakan bagian dari upaya melestarikan warisan budaya. Saat ini, tidak banyak pengrajin yang masih konsisten dalam membuat telok abang dengan menggunakan kayu gabus. Kelangkaan bahan baku menjadi faktor utamanya. Akibatnya, sebagian pengrajin memutuskan untuk menggunakan media lain seperti gabus sintetis untuk membuat miniatur.
Sejak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada tahun 2023, telok abang kian dikenal oleh masyarakat luas sebagai tinggalan yang masih eksis. Kini, tantangan yang dihadapi adalah menjaga eksistensi tersebut dengan merawat sumber bahan baku dan melakukan upaya regenerasi pengetahuan.
Persoalan bahan baku memang menjadi kendala tersendiri. Seiring perkembangan kota-kota yang kian padat, kayu gabus kian sulit untuk ditemukan. Menurut Zakaria, tak jarang ia harus mencari kayu gabus hingga ke luar daerah untuk menjaga autentisitas miniatur kapal tetap terjaga.
Komunitas Skutik Premium Meriahkan City Rolling, FDR Luncurkan Ban Ultimate Gen-2 |
![]() |
---|
Program CSR PT SCK dan PT HSK Bangun Pagar Kantor Desa Manggar Raya |
![]() |
---|
CitraLand Palembang Bangun Club House dengan Tema Modern Tropis, Target Tahun Depan Selesai |
![]() |
---|
Minah Sempoyan, Host Cantik Asal Indonesia Juara 1 Community Fest 2025 TikTok di Vietnam |
![]() |
---|
Helmi Yansah Terpilih Jadi Presiden Indonesia Marketing Association Chapter Palembang 2025-2028 |
![]() |
---|