Berita Nasional
Ramai-ramai Tolak Tapera, Dipotong Gaji 3 Persen Tiap Bulan, Pengusaha Sebut Beratkan Pekerja
Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diterbitkan Presiden Joko widodo mendapat respons penolakan dari berbagai pihak.
TRIBUNSUMSEL.COM, JAKARTA - Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diterbitkan Presiden Joko widodo mendapat respons penolakan dari berbagai pihak.
Pemotongan gaji 3 persen tiap bulan dinilai memberatkan pekerja dan perusahaan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Dalam aturan tersebut setiap pekerja dengan usia paling rendah 20 tahun atau sudah menikah yang memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum diwajibkan menjadi peserta Tapera.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa aturan tersebut berdasarkan hasil kajian dan kalkulasi.
"Iya semua dihitung lah, biasa, dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau enggak mampu, berat atau enggak berat," kata Jokowi.
Menurut Presiden hal yang biasa apabila ada pro dan kontra pada setiap kebijakan yang baru diterbitkan pemerintah. Presiden mencontohkan kebijakan mengenai penerapan sistem jaminan kesehatan BPJS. Pada awal kebijakan tersebut diterapan juga menuai pro dan kontra.
"Seperti dulu BPJS, di luar yang BPI yang gratis 96 juta kan juga rame tapi setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya," katanya.
"Hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan. Kalau belum biasanya pro dan kontra," pungkasnya.
Untuk diketahui dalam Pasal 7 PP mengenai Tapera tersebut, jenis pekerja yang wajib menjadi peserta mencakup pekerja atau karyawan swasta, bukan hanya ASN, pegawai BUMN dan aparat TNI-Polri.
Dalam PP tersebut, besaran simpanan dana Tapera yang ditarik setiap bulannya yakni 3 persen dari gaji atau upah pekerja. Setoran dana Tapera tersebut ditanggung bersama oleh pemberi kerja yakni sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.
Sementara untuk pekerja mandiri atau freelancer ditanggung sendiri oleh pekerja mandiri. Adapun pemberi kerja wajib menyetorkan simpanan Tapera setiap bulan, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari bulan simpanan yang bersangkutan ke Rekening Dana Tapera. Hal yang sama juga berlaku bagi freelancer.
Pemerintah memberikan waktu bagi para pemberi kerja untuk mendaftarkan para pekerjanya kepada Badan Pengelola (BP) Tapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP 25/2020.
Komisioner Badan Pengelola Tapera Heru Pudyo Nugroho mengatakan, peraturan ini merupakan penyempurnaan dari aturan sebelumnya.
Dia menjelaskan, proses pengelolaan Tapera dilakukan melalui penyimpanan oleh Peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu.
"Itu hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir," ujar Heru dalam keterangan tertulis dikutip dari situs resmi BP Tapera, Selasa (28/5).
Menurut Heru, perubahan atas PP ini adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera.
Dana yang dihimpun dari peserta disebut akan dikelola oleh BP Tapera sebagai simpanan yang akan dikembalikan kepada peserta.
“Dana yang dikembalikan kepada peserta Tapera ketika masa kepesertaannya berakhir, berupa sejumlah simpanan pokok berikut dengan hasil pemupukannya,” kata Heru.
Menurut Heru, masyarakat yang masuk dalam kategori berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah pertama dapat mengajukan manfaat pembiayaan Tapera, sepanjang telah menjadi peserta Tapera.
Peserta yang yang termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.
Memberatkan Pekerja
Ketua Federasi Serikat Buruh (FSB) Niaga, Informatika, Keuangan, Perbankan dan Aneka industri (Nikeuba) Kota Palembang Hermawan menyatakan tidak setuju dengan kebijakan baru itu karena Tapera menjadi beban baru bagi buruh.
Kenaikan upah saja tidak layak dan tidka sesuai, kini pendapatan buruh harus kembali dipotong untuk Tapera.
"Pemotongan upah buruh sebesar 2,5 persen tsb sangat memberatkan," ujarnya, Selasa (28/5).
Hermawan menyebut upah minimum 2024 hanya naik Rp 50 ribu, sedangkan seluruh bahan pokok dan kebutuhan lainnya semua naik ditambah adanya pungutan Tapera sebesar 2,5 persen dari upah buruh, maka tentunya semakin menyengsarakan buruh dan keluarganya.
"Seharusnya bila ingin menyediakan rumah murah layak huni bagi buruh, bukan dengan melakukan pungutan upah buruh, tapi dengan memberikan subsidi bagi buruh yang ingin memiliki rumah," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menolak pemberlakukan Tapera, karena kebijakan tersebut justru akan memberatkan para pekerja maupun buruh. Dia juga bilang, Apindo telah melayangkan surat penolakan tersebut kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
"Senada dengan APINDO, Serikat Buruh/Pekerja juga menolak pemberlakukan program Tapera," kata Shinta.
Shinta menjabarkan, aturan Tapera terbaru dinilai semakin menambah beban baru, baik baik pemberi kerja maupun pekerja. Saat ini, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24 persen, sebanyak 19,74 persen dari penghasilan pekerja.
"Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar," jelas Shinta.
Kata Shinta, rincian iuran tersebut antara lain untuk Jaminan Sosial Ketenagakerjaan meliputi Jaminan Hari Tua 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen dan Jaminan Pensiun 2 persen. Jaminan Sosial Kesehatan serta Jaminan Kesehatan 4 persen.
"Cadangan Pesangon sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Standar Akuntansi Keuangan) Nomor 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen," ujar Shinta. (tnf/tribun network/daz/wly)
Baca juga: Serikat Buruh di Sumsel Tolak Potongan Tapera, Pemotongan Upah 2,5 Persen Dinilai Memberatkan
Baca juga: Kemenkumham Sumsel Dorong Jajaran Miliki Rumah Layak Melalui Program Tapera
Impian Gen-Z Sulit Terwujud
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bakal memanggil pihak terkait soal potongan gaji untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Pemerintah maupun pihak buruh nantinya akan duduk bersama.
"DPR akan memanggil pihak-pihak dari pelaksanaan itu. Semua ada bank tabungan, pihak-pihak buruh dan dari pemerintah," ucap Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
Dengan begitu, ia pun berharap kedua belah pihak bisa mencari solusi mengenai kebijakan baru tersebut. Sebab, aturan tidak boleh memberatkan masyarakat di tengah ekonomi yang melemah.
"Jangan memberatkan apalagi di tengah ketidakberdayaan ekonomi kita. Oleh itu kita harus evaluasi dan tidak membuat letupan baru," ungkapnya.
Lebih lanjut, Cak Imin sepakat dengan anggapan kebijakan itu nantinya akan memberatkan para karyawan. "Kalau lihat nuansa ekonomi kita hari ini semua keberatan," pungkasnya.
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama juga merespons soal program Tapera. Kata dia aturan Tapera ini tentunya akan memiliki dampak yang sangat luas. Banyak orang akan terkena aturan ini.
Pertama kata Suryadi, terkait golongan kelas menengah yang sudah memiliki rumah, misalkan sudah telanjur membelinya atau dari warisan orangtua, tapi masih juga diwajibkan untuk ikut program ini.
"Dalam aturan PP Nomor 25/2020 (tidak direvisi) disebutkan bagi Peserta non-MBR, maka uang pengembalian Simpanan dan hasil pemupukannya dapat diambil setelah kepesertaan Tapera-nya berakhir, yaitu karena telah pensiun, telah mencapai usia 58 tahun bagi Pekerja Mandiri; meninggal dunia; atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai Peserta selama 5 tahun berturut-turut," jelas Suryadi.
Fraksi PKS, lanjutnya, mengusulkan golongan kelas menengah ini dapat dibantu untuk dapat membeli properti yang produktif seperti misalnya ruko dan sebagainya. Sehingga dengan demikian akan semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas menengah.
"Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) tahun 2023, menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi Jokowi saat ini cenderung melupakan kelas menengah," ujarnya.
Padahal lanjut Suryadi, pemerintah harus fokus pada pengembangan kelas menengah yang kuat dan inovatif karena mereka adalah motor utama pembangunan jangka panjang.
"Fraksi PKS mendorong agar kelas menengah ini juga diperhatikan. Di satu sisi, penghasilan mereka melebihi kriteria MBR, sehingga tidak dapat membeli hunian subsidi. Namun, di sisi lain, penghasilan mereka juga masih pas-pasan untuk membeli hunian nonsubsidi, sehingga akan semakin terbebani jika harus mencicil rumah sendiri tapi juga masih harus menyisihkan uang untuk Tapera," katanya.
Fraksi PKS, imbuh Suryadi, juga meminta agar kelas menengah tanggung seperti Generasi Milenial dan Gen-Z saat ini lebih khusus lagi diperhatikan. "Impian mereka untuk punya rumah sendiri akan menjadi semakin sulit terwujud karena penghasilannya tak pernah cukup untuk mencicil KPR. Dan tidak mungkin harus menunggu lama pensiun atau berusia 58 tahun baru dapat membeli rumah," ujarnya.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah mengatakan Tapera bakal membuat penerimaan pekerja, dalam hal ini gaji, semakin sedikit.
“Kalau saya melihatnya keluarnya PP 21 ini memang kemudian penerimaan para pekerja di perusahaan jadi banyak potongan. Akhirnya menerimanya semakin kecil dan sedikit,” kata Trubus.
Hal itu dinilainya karena pekerja tidak hanya membayar Tapera, juga ada yang lain seperti BPJS. Itu ditegaskannya jelas membebani karyawan.
“Selain itu pelaku usaha juga harus membayar 0,5 persen, misalnya di Jakarta gaji Rp 5 juta kalau bayar 3 persen yang harus dibayar sekitar Rp 150 ribu. Berarti pengusaha bayar Rp 25 ribu,” kata Trubus.
Ia kemudian mengkritik manfaat yang didapatkan pelaku usaha dari pengeluaran 0,5 persen tersebut. “Pertanyaannya perusahaan mau dapat apa dengan membayar Rp 25 ribu itu. Kalau karyawan hanya satu tak masalah, kalau ribuan berat harus membayar. Sementara perusahaan dapat apa dari itu,” jelasnya.
Atas hal itu ia juga menilai masyarakat akan sulit dapat pekerjaan, karena para pelaku usaha juga bingung harus membayar Tapera serta BPJS. (tribun network/bel/igm/mat/wly)
Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News
Ikuti dan bergabung dalam saluran whatsapp Tribunsumsel.com
Pengakuan Musrika, Anak diduga Tega Aniaya dan Usir Ibu Kandung di Probolinggo, Enggan Rawat Ibu |
![]() |
---|
Acara Reuni Jokowi dengan Alumni Fakultas Kehutanan UGM Disebut Jadi Bahan Tertawaan Oleh Roy Suryo |
![]() |
---|
Nasib Musrika, Anak diduga Tega Aniaya dan Usir Ibu Kandung di Probolinggo, Polisi Turun Tangan |
![]() |
---|
'Demi Allah, Itu Ijazah Asli', Kesaksikan Teman Satu Angkatan Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM |
![]() |
---|
VIDEO Teman Angkatan di UGM Ungkap IPK Asli Jokow Capai 3 Koma, Kini Bertemu di Acara Reuni |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.