Berita OKI

Sering Terjadi Konflik Antara Gajah dan Manusia di OKI, Puskass Lakukan Kajian di Lima Desa

Tim terjun pada lima desa yang sering mengalami konflik dengan gajah yakni Desa Bukit Batu, Simpang Heran, Banyu Biru, Srijaya Baru dan Jadi Mulya. 

Penulis: Linda Trisnawati | Editor: Slamet Teguh
Dokumentasi Tim Puskass
Kajian gajah Palembang dilakukan tim Puskass di daerah Air Sugihan, OKI 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Tim Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan (Puskass) melakukan kajian tentang gajah Palembang.

Kajian gajah Palembang dilakukan tim Puskass di daerah Air Sugihan, Kabupaten OKI.

"Tim Puskass terdiri dari Dedi Irwanto, Vebri Al-Lintani, Ali Goik, Kemas Panji, Dudy Oskandar dan Mang Dayat," kata Aktivis Lingkungan, Ali Goik, Senin (13/5/2024).

Tim terjun pada lima desa yang sering mengalami konflik dengan gajah yakni Desa Bukit Batu, Simpang Heran, Banyu Biru, Srijaya Baru dan Jadi Mulya. 

Khususnya di Desa Bukit Batu tim peneliti melakukan berbagai wawancara dengan penduduk lokal.

Wawancara ini untuk mengidentifikasi keberadaan gajah, terutama akar konflik antara manusia dan gajah di sana. 

"Kita merasakan adanya konflik, yang utama habitat gajah diusik oleh manusia. Gajah memiliki jelajah edar yang bersifat siklus. Nah, berdasar pendapat masyarakat, wilayah edar gajah tidak sengaja diganggu. Akibatnya gajah masuk dan terkadang mengamuk di pemukiman," katanya.

Namun yang menarik, jika dulu masyarakat menghalau gajah, cukup dengan kata-kata simbah ojo mlebuh niki rumah cucumu atau mbak tinggali makan untuk cucumu. Maka gajah akan segera pergi. 

Kalau sekarang untuk menghalau gajah harus dengan berbagai cara dan berganti strategi.

Kalau bulan depan harus pakai tetabuan kaleng, bulan berikutnya perlu percon demikian seterus.

Baca juga: Pusat Konservasi Suaka Margasatwa Padang Sugihan Banyuasin Kini Miliki 28 Gajah Sumatera

Baca juga: Warga vs Gajah, Konflik Menahun di Air Sugihan, Ogan Komering Ilir yang Tak Kunjung Selesai

Sementara itu budayawan Vebri Al-Lintani merasakan dari pendapat masyarakat. Sebenarnya, pada masa lalu ada harmonisasi antara kehidupan gajah dan manusia di Sumsel.

"Gajah itu hewan cerdas. Ia merasa terganggu kalau diusik. Tokoh Si Dasir dalam tradisi lisan Sumsel contohnya. Si Dasir mati karena mengusik gajah," katanya.

Selain itu, dalam sejarah Raja Sriwijaya, Shih-ling-chia dikatakan menaiki gajah jika melakukan perjalanan jauh.

Artinya, sejak masa lampau gajah Palembang sudah mendukung kehidupan manusia di Sumatera Selatan. 

"Bukan berkonflik, jadi menurut saya jika ada konflik manusia dan gajah. Maka harus dicari solusi budayanya yang pas," kata Vebri Al-Lintani.

Menurutnya, selama ini ada kesan di lapangan, bahwa persoalan konflik gajah dan manusia saling lempar tangan penanganannya. 

Oleh sebabnya, tim Puskass melakukan kajian dengan mencari akar konfliknya sekaligus berbagai kearifan lokal tentang gajah.

Sehingga dapat dilakukan saran-saran dalam penanganan gajah disana.

Ketua Tim, Dedi Irwanto menambahkan, tim akan mendokumenkan dan menarasikan tentang kehidupan gajah, baik secara lintasan waktu di masa lampau maupun di masa kini. Termasuk penanganan gajah dari waktu ke waktu.

"Akan ada buku pengetahuan tentang gajah. Keberadaan buku seperti ini terbilang masih langka dalam khazana literarasi di Sumatera Selatan, sehingga pengetahuan orang tentang gajah dirasakan mulai menurun," katanya.

Selain itu, buku hasil kajian ini juga semacam upaya mengembalikan citra Sumatera Selatan. Sebagai tempat utama rumah gajah Sumatera. Selama ini, Lampung yang dikenal sebagai daerah gajah. 

"Padahal gajah dari Lampung sebagian besar berasal dari Sumsel, terutama Air Sugihan sekitarnya," katanya.

 

 

Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News

Ikuti dan bergabung dalam whatsapp Tribunsumsel.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved