Arti Kata Bahasa Arab

Arti Maslahat adalah, Kosa Kata Bahasa Arab untuk Perbuatan yang Membawa Kebaikan, Berikut Contohnya

maslahat itu mengandung dua  sisi yaitu menarik dan mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudharatan

Penulis: Lisma Noviani | Editor: Lisma Noviani
Grafis MG Tribunsumsel.com/Dimas/Rafli
Arti Maslahat adalah, kosa kata bahasa Arab untuk perbuatan yang membawa kebaikan, berikut contohnya. 

TRIBUNSUMSEL.COM -- Arti Maslahat adalah, kosa kata bahasa Arab untuk perbuatan yang membawa kebaikan, berikut contohnya.

Maslahat atau maslahah berasal dari bahasa Arab المصلحة

Maslahah, berasal dari kata salaha  صلح (dengan penambahan “alif” di awalnya) yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”.

Ia adalah masdar dengan arti kata salah صالح yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan.

Pengertian maslahah dalam bahasa Arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong
kepada kebaikan manusia.

Dalam artinya yang umum, maslahat adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik  atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan.

Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahat. Dengan begitu maslahat itu mengandung dua  sisi yaitu menarik dan mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudharatan.

 

Ada beberapa pengertian tentang maslahat.
Dikutip dari wikipedia, Maslahat artinya adalah memelihara tujuan syara' dan meraih manfaat/menghindarkan kemudharatan.

Menurut Al Ghazali, maslahat berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menghindarkan mudarat (bahaya/ kerusakan).

Imam Al-Khwarizmi (Penemu Aljabar)
mengatakan maslahat artinya memelihara tujuan syara'dengan cara menghindarkan kemafsadahan dari manusia."

Lawan kata maslahat adalah mafsadat yaitu segala sesuatu yang menyebabkan mudarat (bahaya, kerusakan, atau bencana).
Mudarat >< maslahat>

Dalam ilmu fikih, melaksanakan maslahat dan menghindari mafsadat dikaitkan dengan lima hal pokok yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.

Dikutip dari ensiklopediaislam.com, Imam al-Ghazali (sufi, filsuf besar dari Khurasan; 1058–1111) mengatakan terminologi maslahat hanya mengacu kepada kelima hal pokok tersebut, bukan pada kebiasaan (‘urf) yang berkembang di masyarakat, karena pemeliharaan maslahat untuk lima hal itu terkait dengan tujuan syariat (maqasid asy-syari‘ah).

Tujuan utama syariat adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (jalb al-masalih wa daf‘ al-mafasid).

Sementara menurut ulama Najmuddin at-Tufi (w. 1316).

Ulama yang disebut terakhir mempunyai pandangan yang agak kontroversial tentang maslahat. Menurut at-Tufi, ajaran yang diturunkan Allah SWT melalui wahyu-Nya dan sunah Rasulullah SAW pada intinya adalah untuk kemaslahatan manusia.

Oleh karena itu, dalam segala persoalan kehidupan manusia, prinsip yang dijadikan pertimbangan adalah kemaslahatan. Ia menolak klasifikasi maslahat yang dibuat ulama berdasarkan keberadaannya menurut syarak.

Ada empat prinsip yang diyakini at-Tufi dalam masalah maslahat:

(1) Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya di bidang muamalah dan adat. Kemampuan akal mencukupi untuk mengetahui dan membedakan maslahat dan mafsadat tanpa perlu didukung nas syarak.

(2) Maslahat merupakan dalil mandiri (mustaqil) dalam menentukan dan menetapkan hukum.

(3) Maslahat hanya berlaku di bidang muamalah dan adat istiadat. Masalah ibadah atau ukuran yang ditetapkan dalam syarak tidak termasuk dalam wilayah maslahat.

(4) Maslahat merupakan dalil syara' yang paling kuat; karena itu, jika ada dalil atau ijmak yang bertentangan dengan maslahat, maka maslahat metode takhsis atau bayan harus didahulukan.

Ulama usul fikih membagi maslahat dan mafsadat berdasarkan kualitas dan derajatnya dalam tiga bagian hierarkis.

(1) Ad-daruriyyah, yakni kemaslahatan atau kemafsadatan yang bersinggungan dengan masalah pokok manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Contoh maslahat daruri adalah menjaga kehidupan manusia dari hal yang merusak, seperti pembunuhan.

Peperangan atau pembunuhan disebut sebagai maslahat daruri karena membahayakan hal yang sangat vital, yaitu jiwa manusia. Jadi, maslahat dalam golongan ini berarti mencegah kemungkinan timbulnya mafsadat yang berada pada level setingkat dengan apa yang disebut di atas sebagai ad-daruriyyat al-khamsah.

(2) hajjiyyah, yakni kemaslahatan yang diperlukan sebagai penyempurna kebutuhan pokok manusia dalam konteks ad-daruriyyat al-khamsah atau suatu mafsadat yang dapat menghalangi terciptanya kemaslahatan tersebut.

Contoh mafsadat hajjiyyah adalah penipuan dan riba. Perbuatan ini, meskipun tidak secara langsung mengganggu dan membahayakan ad-daruriyyah al-khamsah di atas, membawa efek yang merugikan secara tidak langsung.

(3) Tahsiniyyah, yakni maslahat pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapai kemaslahatan sebelumnya, misalnya makan makanan bergizi dan berpakian bagus. Mafsadat pada level ini bersifat ringan dan tidak berakibat fatal, misalnya merokok di tempat umum.

Izzuddin bin Abdus Salam, ulama fikih Syafi‘i (1181–1261), membagi mafsadat berdasarkan hierarki di atas dalam dua kelompok: mafsadat muharramah dan mafsadat makruhah.

Mafsadat muharramah adalah mafsadat yang diharamkan Allah SWT karena membawa bahaya yang besar. Mafsadat daruriyyah dan hajjiyyah termasuk dalam kelompok ini. Adapun mafsadat makruhah adalah mafsadat yang dimakruhkan, yaitu mafsadat tahsiniyyah.

Berdasarkan tolok ukur maslahat dibanding dengan ada atau tidaknya penjelasan syarak, Imam al-Ghazali membagi maslahat dalam empat macam:

(1) maslahah mujabah, maslahat yang macamnya dikukuhkan syara';

(2) maslahah mula’imah, maslahat yang jenisnya dikukuhkan syara';

(3) maslahah mulgah, maslahat yang dibatalkan syarak; dan

(4) maslahah garibah, maslahat yang tidak dijelaskan/ didiamkan syara. Atas dasar ini, mafsadat pun terbagi dalam keempat bentuk tersebut.

Maslahat dan mafsadat dalam ajaran Islam merupakan dua sisi yang saling melekat satu sama lain. Dalam setiap perbuatan manusia, kecuali dalam ibadah, ada sisi baik (maslahat) dan buruk (mafsadat).

Manusia harus mampu menyingkap kemaslahatan dan mengerjakan suatu perbuatan berdasarkan hanya dominasi sisi maslahat. Bahkan Allah SWT ketika mengharamkan khamar (minuman yang memabukkan) kepada manusia pun menjelaskan bahwa ada sisi positif di dalamnya, tetapi mafsadat khamar jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Penerapan konsepsi maslahat dalam metode istinbath (pengambilan kesimpulan hukum) terhadap masalah sosial kegamaan pada saat ini akan sangat membantu. Pendekatan dalam menjawab problematika keagamaan dalam wilayah muamalah dewasa ini tidak lagi harus memakai pendekatan ushli semata yang terkesan kaku dan statis.

Akan tetapi sudah pada tempatnya dikembangkan metode istinbath yang berbasis pada maqasidi (maksud syarak), sehingga hukum Islam dapat lebih elastis sesuai dengan perubahan zaman. Maslahat manusia di bidang muamamah dan adat istiadat terus berubah dan berkembang dari masa ke masa.

Mustafa asy-Syalabi, guru besar fikih al-Azhar Mesir, menyebut maslahat ini sebagai al-maslahah al-mutagayyirah, lawan dari al-maslahah ats-tsabitah, yaitu maslahat yang tetap (abadi) sampai akhir zaman, misalnya ibadah shalat dan zakat yang telah diwajibkan Allah SWT.


Itulah arti maslahat adalah, kosa kata bahasa Arab untuk perbuatan yang membawa kebaikan, berikut contohnya. (lis/berbagai sumber)

Baca juga: Bacaan Sholawat Fatih, Lengkap Tulisan Latin, Arti dan Manfaat Ketika Dibaca Secara Rutin

Baca juga: Shallallahu Ala Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam Sholawat Jibril Latin dan Arti

Baca juga: Arti Ya Ayyuhalladzina Amanu Aufu Bil Uqud, Bacaan Surat Al Maidah Ayat 1 Sampai 5 Berikut Tafsirnya

Baca juga: Arti La Dharara Wala Dhirara, Hadits Tentang Larangan Merusak Diri Sendiri Berikut Contoh Perbuatan

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved