Citizen Journalism

Layangan yang Terlahir Kembali, Wajah Baru Kawasan Jaloer

SAPA temanku di sore hari depan rumah setelah sekian purnama bertemu kembali dengannya. Aku agak sedikit mengernyitkan dahi, tanda bingung dan tidak p

Editor: Moch Krisna
Citizen Journalism Andi Triyono
Warga Jalur di Banyuasin Saat Tengah Bermain Layang Layang 

TRIBUNSUMSEL.COM -- "Hoii... kapan sampai? Sampean gak neng etan? Rame wong ngumbolke layangan!"

SAPA temanku di sore hari depan rumah setelah sekian purnama bertemu kembali dengannya. Aku agak sedikit mengernyitkan dahi, tanda bingung dan tidak percaya dengan pernyataannya soal layang-layangan di desa kami, tanah transmigrasi di kabupaten Bayuasin -- Jaloer-- biasa orang menamakan. Wajarlah, Jaloer --tanah kelahiran-- bukan lagi homebase atau domisili sejak beberapa tahun belakangan. Kartu Keluarga juga pun sudah tidak beralamat di bumi Sedulang Setudung lagi.

Praktis, perkembangan dunia per-Jaloer-an tentu tidak bayak kuketahui lagi. Informasi seputar Jaloer pun hanya bisa mengandalkan media sosial saja. Jika mereka memposting maka disanalah saya tahu sesuatu. Jika tidak, ya bisa disamakan dengan sebuah kata dari lirik lagu musik bergenre dangdut koplo "lossss....".

Lebih anehnya lagi, tentu saya tidak setiap hari bisa menikmati dunia perdebuan dan perlumpuran di tanah Jaloer. Dikala kemarau seperti saat ini debu jalanan begitu tebal menghantam sekujur badan tatkala berkendara. Ketika musim hujan akan bayak ditemui jalananan yang berlumpur disertai sumpah serapah dari pelintas. Layaknya saya dulu mengalami. Baik-buruknya, di tempat tinggal yang baru, kami susah mencari ciri khas yang seperti ini.

Maka ketika teman menanyakan hal itu, saya masih belum paham dan ngeh. Herannya lagi dia juga merasa aneh. Dia tahu, saya sangat menyukai layangan ketika masih kecil dulu. Saya pelakunya. Sekarang Kok ketika layangan menggema kembali saya dianggap bersikap biasa saja tidak antusias. Padahal kan saya tidak tahu.

Berbekal rasa tidak percaya, ku gaspol motorku kesana, ke tempat dimana anak kecil, remaja, pemuda dan orang tua baru-baru ini biasanya bermain layang-layang. Etan (dalam bahasa jawa) artinya arah mata angin untuk timur, merujuk sebuah tempat di desa kami yang berupa areal sawah membentang luas. Disanalah, saya terheran dan ternganga melihat pemandangan yang seperti tak nyata bagi saya. Banyak warga bermain layang-layang: seru dan menghebohkan.

Bayangkan saja, mulai anak-anak, remaja, pemuda hingga dewasa orang tua, mereka bersama sama menerbangkan layang-layang. Bahkan ada bapak-anak tak mau hanya sebagai penonton saja, mereka ikut bermain layangan. Anaknya "methek", bapaknya menarik layangan supaya bisa terbang. Warga yang tidak punya, mereka asyik duduk di motor melihat keseruan teman dan tetangganya bermain layang-layang.

Sempat mati suri

Keterngangaanku melihat pemandangan yang menakjubkan itu, membawa ke kenangan masa kecil. Dulu kami sering membuat dan menerbangkannya ketika musim kemarau tiba. Angin kencang dan curah hujan rendah sangat mendukung permainan ini.

Dulu layangan belum jadi barang komoditi. Kami semua bisa membuatnya sendiri dengan beberapa variasi semampunya. Kebetulan bahan baku berupa bambu melimpah ruah, hanya beli plastik atau kertas saja. Jika tak mau beli, ya cari saja kantung asoy sesuai kebutuhan, dipasang kemudian diterbangkan.

Beberapa macam jenis layangan misalnya layangan biasa atau layangan berukuran kecil berbentuk "wajik", ulan-ulan dengan ciri khas ekornya yang panjang, dan beberapa variasi layang bapangan.

Sepulang sekolah adalah waktu yang pas untuk menerbangkan layangan. Terik matahari tak kami hiraukan. Saking asyiknya tak terasa sudah sore. Kadangkala layangan kami "panjer", diinapkan diangkasa. Jika pagi tidak turun, disitulah letak kebanggaan kami.

Hanya saja, setelah beranjak remaja dan dewasa, entah mengapa layangan yang juga dimainkan oleh bapakku kian terlupakan. Bertambahnya usia kami dan mulai mengenal hal-hal lain, seolah menambah rasa keengganan bermain layangan lagi di setiap musimnya.

Hingga akhirnya merantau dan menjadi orang tua, gema layangan di Jaloer tak terdengar lagi. Memang ada yang masih memainkan, tapi tak pernah sesemarak kami dulu. Jika ada, itupun hanya anak-anak kecil dengan layangan ukuran seadanya. Remaja, pemuda dan orang tua bisa dihitung dengan jari yang masih mebuat dan menerbangkannya.

Ibarat air, hanya percikan-percikan saja. Sepertinya tak akan ada gelombang besar. Layangan mati suri, sepertinya tak mau bangkit kembali.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved