Seputar Islam

2 Contoh Materi Khutbah Idul Adha 2023 Bertemakan Haji Kurban, Terbaru, Singkat dan Penuh Makna

TRIBUNSUMSEL.COM - Berikut dua contoh naskah khutbah Idul Adha, singkat, terbaru dan penuh makna yang bisa jadi referensi.

Penulis: Putri Kusuma Rinjani | Editor: Abu Hurairah
TRIBUNSUMSEL.COM
2 Contoh Naskah Khutbah Idul Adha Bertemakan Haji Kurban, Terbaru, Singkat dan Penuh Makna 

TRIBUNSUMSEL.COM - Berikut dua contoh naskah khutbah Idul Adha, singkat, terbaru dan penuh makna yang bisa jadi referensi.

Khutbah Idul Adha Terbaru dan Singkat

  • Contoh Pertama
    "Kisah Ismail dan Ibrahim"

Jamaah shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah, Hari ini, 10 Dzulhijjah, merupakan hari yang sangat mulia, hari yang sarat akan ibadah beserta keutamaan-keutamaannya.

Saudara-saudara kita tengah melaksanakan ibadah haji di Makkah, sedangkan kita menjalankan shalat Idul Adha. Di hari ini, kita juga diperintahkan untuk menyembelih hewan kurban.

Jamaah yang berbahagia,

Hari Raya Idul Adha tidak akan bisa terlepaskan dari sebuah kisah ribuan tahun lalu, saat Nabi Ibrahim as diberi cobaan yang sangat berat.

Di usianya yang menginjak 86 tahun, ia begitu senang karena dikaruniai seorang anak yang sangat saleh sebagaimana yang ia panjatkan dalam doanya, "rabbi hab lii minasshalihin", duhai Tuhanku, karuniakanlah bagiku keturunan yang saleh.

Allah swt pun mengabulkannya dengan menciptakan Nabi Ismail as melalui rahim Siti Hajar. Namun, saat putra yang begitu ia cintai beranjak besar, ia diperintahkan melalui sebuah mimpi untuk mengorbankannya.

Dalam suatu hadits Nabi Muhammad saw, disebutkan bahwa mimpi bagi seorang Nabi merupakan wahyu.

Namun, pada mulanya, Ibrahim ragu dengan perintah tersebut. Akan tetapi, mimpi tersebut berulang kembali pada malam berikutnya. Dengan begitu, ia yakin bahwa mimpi tersebut merupakan perintah yang harus ia taati.

Kisah inipun termuat dalam dalam Al-Qur’an Surat As-Shaffat ayat 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”

Jamaah sekalian yang dimuliakan Allah, Ayat tersebut memberikan pelajaran penting bagi kita mengenai sikap yang ditunjukkan Nabi Ibrahim.

Ia menunjukkan cara berkomunikasi yang baik dengan tidak tiba-tiba langsung mengeksekusi putranya. Dengan tenang, ia menceritakan duduk perkaranya, apa yang telah dialaminya, dan perintah yang ia terima melalui mimpi tersebut.

Ia pun meminta pertimbangan atas perintah tersebut kepada putranya. Sementara itu, sebagai anak yang saleh, Nabi Ismail menurut dan pasrah akan perintah tersebut.

Perlu digarisbawahi, bahwa Nabi Ismail menaati perintah itu menunjukkan tidak memberikan ruang pengingkaran terhadap perintah tersebut. Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam kitabnya Qishashul Anbiya halaman 94 menyebutkan:

وَ لَمْ يَقُلْ: يَا اَبَتِ افْعَلْ مَا تُرِيْدُ, حَتَّى يَأْخُذَ الْاِبْنُ ثَوَابَ عُبُودِيَّةِ الطَّاعَةِ

Artinya: "Ia tidak menjawab, “Duhai ayahku, lakukan apa yang engkau kehendaki”, sehingga Nabi Ismail memperoleh pahala ibadah atas ketaatannya".

Nabi Ismail as tidak menjawab permintaan tanggapan itu dengan “Terserah Ayah”. Tetapi pendapat yang disampaikannya adalah pelaksanaan atas perintah tersebut.

Itulah bentuk ketaatan yang ditunjukkan Nabi Ismail as. Selanjutnya, jamaah sekalian, kita melihat bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menggunakan bahasa yang sesuai dengan orang yang diajak bicara.

Nabi Ibrahim menggunakan kata: "ya bunayya, duhai putraku", untuk menyapa putranya. Sedangkan Nabi Ismail memilih kata: "ya abati, duhai ayahku", untuk menyapa ayahnya.

Syekh Abi Hayyanal-Andalusi (654-754) dalam kitab al-Bahrul Muhith Juz 9, mengatakan bahwa pilihan kata yang digunakan Nabi Ibrahim itu merupakan wujud sayangnya terhadap anak.

Pun Nabi Ismail menggunakan sapaan yang menunjukkan penghormatan dan pengagungannya terhadap orang tua. Oleh karenanya, sudah selayaknya, kita sebagai orang tua untuk memberikan kasih sayang penuh kepada putra-putri kita dengan sapaan yang lembut memberikan sentuhan kesejukan di hati anak-anak.

Pun kita sebagai seorang anak, harus sepenuh takzim kepada orang tua kita, dengan mendengarkan pembicaraannya, melaksanakan perintahnya, menjawab panggilannya, dan lain sebagainya.

Inilah ilmu komunikasi yang bisa kita petik dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Demikian khutbah Idul Adha yang saya sampaikan.

Semoga kita semua dapat meneladani laku keduanya dalam kehidupan kita berkeluarga dengan menerapkan komunikasi yang baik serta penuh dengan kasih sayang.

Baca juga: 17 Contoh Ucapan Selamat Idul Adha 1444H/2023 dalam Bahasa Arab dan Arti, Bisa Jadi Caption Dimedsos

  • Contoh Kedua
    "Tiga Makna Dibalik Ibadah Haji"

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلَ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Jamaah shalat Idul Adha hafidhakumullah,

Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu dari empat bulan haram (dimuliakan) di dalam Islam. Tiga bulan lainnya adalah Muharram, Rajab, dan Dzulqa'dah.

Keistimewaan Dzulhijjah ditandai antara lain dengan adanya ibadah-ibadah tertentu yang tidak mungkin dikerjakan umat Islam di bulan-bulan lainnya, yakni haji dan kurban.

Secara bahasa dzulhijjah merupakan frasa yang terdiri dari kata dzû (memiliki) dan al-hijjah (haji).

Dinamakan demikian karena hanya di bulan ke-12 dalam kalender hijriah ini, ada pelaksanaan ibadah haji.

Haji merupakan rukun Islam yang kelima. Karena masuk rukun atau pilar, ibadah ini tentu bukan ibadah yang remeh.

Ia wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mampu. Kemampuan ini meliputi kemampuan secara fisik, ekonomi, juga keamanan.

Dengan bahasa lain, ketika seseorang sudah memiliki biaya yang mencukupi, kesehatan fisik yang memadai, dan kondisi aman yang memungkinkan ia sampai ke Tanah Suci, maka ia wajib melaksanakan ibadah tersebut.

Al-Qur'an Surah Ali Imran ayat 97 menyatakan:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."

Namun demikian, ibadah haji juga kadang terkait dengan pengalaman spiritual orang. Karena betapa banyak orang Muslim kaya raya yang tak kunjung menunaikan ibadah haji.

Sebaliknya, betapa banyak orang bergaji rendah, justru diberi kemampuan untuk ibadah haji. Semangat dan pengalaman batin seseorang amat berpengaruh terhadap seberapa kuat niat berhaji itu tumbuh.

Jamaah shalat Idul Adha hafidhakumullah,

Dalam ibadah haji, banyak sekali ritual atau manasik yang tak serta merta bisa ditangkap alasannya secara nalar.

Jika kita diperintahkan untuk berpuasa Ramadhan tiap tahun, orang mungkin bisa menjelaskan secara rasional dari sudut pandang medis. Demikian juga dengan perintah zakat, yang bisa ditemukan alasannya secara sosial dan ekonomi, yakni agar harta tidak hanya berputar pada segelintir orang saja.

Tidak demikian dengan haji. Rukun kelima dalam Islam ini sarat ritual-ritual yang bisa dipahami dengan memosisikannya sebagai simbol-simbol yang penuh makna.

Pertama yang bisa ditangkap adalah makna tauhid. Makna ini tersirat dalam posisi Ka'bah sebagai sentra kedatangan para jamaah dari berbagai belahan dunia.

Jutaan orang dari berbagai penjuru dan bangsa berkumpul dalam satu pusat, tanpa dibedakan bahwa satu daerah lebih utama dibanding daerah lainnya.

Ini adalah simbol bahwa tujuan dari keseluruhan hidup ini adalah satu, yakni Allah ﷻ. Penjulukan Ka'bah sebagai "baitullah" (rumah Allah) harus dipahami dalam makna tersebut, bukan Allah bersemayam di dalam Ka'bah.

Begitu pula dengan Hajar Aswad yang terletak di sudut timur laut Ka'bah. Kedudukannya yang mulia hingga orang-orang berebut menyentuh dan menciumnya tidak boleh sampai membuat mereka menyembahnya.

Anjuran menyentuh dan mencium Hajar Aswad muncul sekadar karena mengikuti sunnah Nabi. Sebagaimana dikatakan Sayyidina Umar bin Khattab:

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ، لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

Artinya: "Sungguh aku tahu, engkau hanyalah batu. Tidak bisa mendatangkan bahaya atau manfaat apa pun. Andai saja aku ini tak pernah sekalipun melihat Rasulullah shallahu alaihi wa sallam menciummu, aku pun enggan menciummu." (HR: Bukhari)

Kedua adalah makna kemanusiaan. Pakaian ihram yang dikenakan orang-orang saat memulai haji adalah simbol kesamaan dan kesetaraan semua manusia. Dalam ihram seluruh pakaian dianjurkan berwarna putih.

Bagi jamaah haji laki-laki bahkan harus mananggalkan semua pakaian berjahit dan menggantinya dengan hanya dua helai kain. Kaum laki-laki dilarang mengenakan topi atau peci, sedangkan jamaah perempuan dilarang mengenakan cadar.

Ritual ini menandai kesatuan identitas manusia sebagai hamba Allah, dan melepaskan identitas-identitas selainnya, seperti suku, ras, nasab, jabatan politik, kelas ekonomi, dan ketokohan.

Pemulung, selebritis, ulama, menteri, atau presiden datang ke Tanah Suci sebagai hamba Allah, bukan sebagai orang dengan kedudukan duniawinya.

Makna kedua ini sekaligus mempertegas makna pertama, yakni nilai tauhid. Konsekuensi dari menjunjung tinggi tauhid adalah mengakui bahwa tidak ada yang lebih dimuliakan selain Allah ﷻ.

Manusia pada hakikatnya berada dalam kesetaraan. Standar kedudukan hanya bisa dinilai dari sudut pandang Allah, melalui tingkat ketakwaannya.

Manusia paling mulia adalah mereka yang paling takwa kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha-Mengetahui lagi Maha-Mengenal." (QS al-Hujurat: 13)

Tak hanya pakaian-pakaian "kehormatan" duniawi yang dilepas, jamaah haji dari berbagai bangsa dan negara juga bersama-sama meninggalkan tempat asalnya untuk berkumpul di tempat yang sama.

Pemandangan ini lebih tampak ketika mereka sedang bersama-sama wukuf di Arafah. Mereka harus berdiam di lokasi yang sama dan di bawah terik matahari yang sama.

Ini menandakan bahwa sesungguhnya manusia-siapa pun itu-pada akhirnya akan kembali pada Zat yang tunggal.

Ibadah haji adalah gambaran bahwa manusia harus kembali ke fitrah aslinya sebagai hamba, baik ketika hidup maupun mati.

Ketiga adalah makna napak tilas sejarah kenabian. Haji juga menjadi momen mengenang jejak nabi-nabi terdahulu, khususnya Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan Nabi Muhammad.

Perjalanan mereka bukanlah sejarah hidup yang kosong makna, melainkan mengandung berbagai pelajaran yang penting diingat. Ritual melontar Jumrah, misalnya, adalah jejak permusuhan Nabi Adam kepada setan.

Kita diingatkan tentang pentingnya selalu waspada terhadap berbagai tipu daya musuh terlaknat ini.

Begitu juga tentang ritual Sa'i. Ia menyimpan sejarah perjuangan Siti Hajar mencari air untuk putranya, Ismail, ketika ditinggal sang suami, Nabi Ibrahim 'alaihis salam.

Lari-lari yang berulang sampai tujuh kali merupakan simbol kegigihan ikhtiar yang tak kenal putus asa.

Hingga akhirnya pertolongan Allah pun datang dengan memancar air secara tiba-tiba dari bawah kaki Nabi Ismail. Mata air itu kita kenal hingga sekarang sebagai sumur Zamzam.

Jamaah shalat Idul Adha hafidhakumullah,

Allah tak mewajibkan haji untuk setiap orang sebagaimana shalat. Kewajiban haji hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu.

Untuk yang sudah atau sedang berhaji, penting baginya tak menyia-nyiakan kewajiban ini dengan memenuhi segala ketentuan haji, juga makna-makna dalam segenap ritual yang dijalankan.

Bagi yang belum mampu ke Tanah Suci, cukup baginya berikhtiar semampunya dan menyerap makna haji untuk kemudian kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Haji adalah perjalanan suci, bukan wisata untuk meraih kebanggaan diri. Karena itu, bagi yang belum diberi kemampuan menunaikan haji tak perlu berkecil hati selama kita selalu berusaha menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa: memegang prinsip tauhid, menghargai kemanusiaan, dan menjalankan ketentuan syariat sebagaimana diajarkan Rasulullah. Wallahu a'lam.

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved