Cendekiawan Muslim Aceh Sebut Erick Thohir sebagai Jembatan Generasi Nonmilenial dengan Milenial
Tokoh Sumatera harus muncul karena prestasi, bukan populasi. Tokoh asal Sumatera juga harus memiliki karakter yang unik atau mudah dikenal milenial.
Penulis: AMALIA PURNAMA SARI | Editor: AMALIA PURNAMA SARI
Diungkapkan Ray, jika nantinya Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara resmi pindah ke Kalimantan, maka Jakarta bukan lagi pusat untuk presiden-presiden selanjutnya, seperti Joko Widodo yang awalnya Gubernur DKI Jakarta.
"Dengan berpindahnya pusat pemerintah dari Jakarta ke Kalimantan, jelas hal itu nanti merubah pusat, dan besar dugaan saya Gubernur Jawa Barat dan Jawa Tengah akan dilirik masyarakat, karena pemilihnya banyak, tetapi luar jawa juga memiliki kesempatan.
"Sehingga siapa yang sukses disana maka punya kesempatan memimpin Indonesia. Namun, lagi-lagi, siapkah kita berkompetisi dengan sebaik mungkin dalam sistem yang terbuka ini, yang liberal ini sebelum dikunci oleh para oligarki," bebernya.
Cendekiawan muslim asal Aceh Fachry Ali menilai, politik identitas Jawa-non Jawa tidak ada sejak masa revolusi itu "dikotomi Jawa dan luar Jawa" seperti yang ditulis oleh Umar Kayam di Tempo pada tahun 1980-an
"Di tembok-temboknya itu tertulis slogan Soekarno-Hatta padahal maksudnya itu sukar (sulit) tanpa Hatta itu di Yogyakarta," tutur Fachry.
Namun, dia mengakui bahwa pertarungan politik sejak dahulu memang sering terjadi pembelahan antara partai Jawa dan non-Jawa.
"Dalam hal ini Masyumi yang memiliki basis tersebar di masing-masing daerah, yang tak dipungkiri penduduk di pulau Jawa sangat dominan saat ini.
"Menurut saya dari 1955 walaupun ini sangat hipotesis sampai dengan 1959, itu dikotomi Jawa dan luar Jawa itu tidak menjadi persoalan politik pada masa itu, tidak menjadi isu karena orang masih merindukan Hatta. Tapi setelah terjadinya Dekrit Presiden 1959 dikotomi itu kemudian meluas pendalaman karena kemudian terjadi keresahan-keresahan yang bersifat ekonomi," tandasnya.
Setelah itu, sebut Fachry, keresahan-keresahan akan politik identitas muncul. Hal ini diperparah dengan munculnya Orde Baru yang bisa dianggap pengukuhan politik identitas, bukan dalam perilaku politik saja.
Ia menjelaskan, model kekuasaan kemudian kembali pada model sejarah politik dan sosial ekonomi Jawa yang kemudian diciptakan.
"Lalu, tokoh-tokoh yang menjadi model politik itu adalah berasal dari dunia pewayangan, sehingga kemudian dirinya sebagai anak Aceh pun itu punya pendapat bahwa jika tidak bisa memahami Indonesia tanpa memahami Jawa," sebut dia.
Meski bisa memahami Jawa, sebut Fachry, mereka belum tentu memahami Indonesia. Oleh karenanya, penting untuk menguasai salah satu daerah luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Utara, ataupun Sulawesi Selatan.
"Jadi kalau kita tahu daerah luar Jawa, itu baru Anda bisa mengklaim bahwa Anda kenal Indonesia. Jadi kalau kita lihat proses politik yang semacam ini itu adalah suatu proses yang berlangsung secara tidak sengaja, karena pemilu yang tidak tuntas 1955 lalu kemudian negara baru merdeka dimana wilayah luar Jawa itu yang muncul secara dominan, sebagai kontributor dari ekonomi secara nasional karena mereka adalah sumber utama bagi ekspor komoditas ekspor, sementara wilayah Jawa itu yang dominan adalah pertumbuhan penduduknya," paparnya.
Menurut Fachry, pemindahan ibu kota dari Pulau Jawa akan memicu munculnya politik pasca-Jawa, yakni kurangnya sopan santun dalam berpolitik. Selain itu, pembangunan infrastruktur luar Jawa juga akan meningkat.
"Apakah ini akan melahirkan tokoh di luar Jawa, itu sebuah pertanyaan dari sebuah periode baru yang sedang bangkit sekarang ini," tanyanya