Cendekiawan Muslim Aceh Sebut Erick Thohir sebagai Jembatan Generasi Nonmilenial dengan Milenial
Tokoh Sumatera harus muncul karena prestasi, bukan populasi. Tokoh asal Sumatera juga harus memiliki karakter yang unik atau mudah dikenal milenial.
Penulis: AMALIA PURNAMA SARI | Editor: AMALIA PURNAMA SARI
Dilanjutkan Fachry, tokoh Sumatera harus muncul karena prestasi, bukan populasi. Tokoh asal Sumatera juga harus memiliki karakter yang unik atau mudah dikenal pemilih milenial.
"Kalau di Sumatera ada dua tokoh yang kita lihat, yang satu sudah senior sekali yaitu Surya Paloh. Ia adalah orang luar Jawa yang mendirikan partai nasional tapi bukan calon presiden dan kedua Erick Thohir (Menteri BUMN)," paparnya.
Surya Paloh sendiri menurutnya adalah tokoh hebat yang berani memimpin tanpa memandang etnis. Sedangkan Erick Thohir dinilai bisa menjadi pemimpin nasional ke depan, entah sebagai presiden atau wakil presiden.
"Dalam basis konteks demografi (Erick Thohir) adalah jembatan antara generasi non milenial dengan milenial, Saya pernah membuat tulisan pengantar buku tentang dia, di dalam itu dia adalah jembatan bukan reproduksi dari Orde Baru, karena ia lahir ketika Orde Baru itu mulai mengkonsentrasikan kekuatan materialnya ditangan keluarga.
"Sedangkan kemampuan dia (Erick Thohir) didasarkan pada teknikal dan profesional. Inilah basis dia sedikit bombastis, inilah basis politik ekonominya. Jadi dia diakui sebagai orang buka massa, tapi kemampuan profesional dan ditunjukkan di nasional," pujinya.
Sedangkan, Dekan FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) Profesor Alfitri menerangkan, jika berbicara mengenai hal historis peradaban Indonesia, bangsa Melayu sebenarnya memiliki kekuatan lebih besar karena memiliki Mataraman Jawa yang lebih oligarkis.
"Nah, Melayu inilah sebetulnya akar dari demokrasi sebenarnya dan yang saya lihat beberapa potensi-potensi yang memang menjadi akar demokrasi itu memang muncul di Sumatera, ada marga Sumatera Barat ada Nagari, di Sumatera Utara juga ada marga.
"Inilah pembelajaran demokrasi Indonesia, sehingga pada saat kita melihat potret bagaimana Melayu memberikan semacam sumbangsih demokrasi kepada bangsa ini sangat terasa pada saat memutuskan Sumpah Pemuda," papar Alfitri.
Alfitri melanjutkan, Indonesia perlu mencari orang Jawa yang bisa menghargai bahasa Indonesia yang akarnya adalah bahasa Melayu.
"Kemudian yang kedua ketokohan yang tadi singgung Soekarno Hatta yang memang begitu tunggal ini adalah model politik awal dalam membangun Indonesia ke depan," tuturnya.
Dia menilai bahwa ada semacam pencitraan bahwa presiden harus orang Jawa dan luar Jawa. Contohnya seperti Soekarno-Hatta, Soekarno-Malik, dan Soekarno-Jusuf Kalla (JK).
"Menurut saya bagaimana jalan tengah yang dipilih untuk memimpin Indonesia dengan keberagaman, jadi pluralistik Indonesia ini merupakan sebuah kekuatan ketika itu sudah dibangun oleh para pendiri bangsa ini.
"Termasuk pada saat Orde Baru menerapkan politik ekspansi dengan program transmigrasinya di sinilah, memulai bahwa peradaban peradaban ini Jawa dan luar Jawa ini mulai membaur, dalam kacamata tadi yang unggah-ungguhnya mulai luntur kemudian otokrasinya juga mulai memudar termasuk juga budaya di Melayu itu sudah lebih Jawa daripada orang lain ini yang kita lihat, bahwa sudah terjadi semacam persilangan dimana orang sekarang bermimpi terhadap keadilan," jelasnya.
Alfitri mengungkapkan, keadilan perlu diperhatikan ketika melihat tokoh-tokoh asal Sumatera.
"Tetapi kalau misal ada tokoh yang bisa mengusung prinsip keadilan, terutama di dalam membangun Indonesia peluang itu akan besar dengan tidak memandang dia dari mana Menurut saya di pada Pemilu 2024 akan menarik dan ditunggu oleh publik, bagaimana keadilan itu bisa menjadi tawaran bagi calon-calon kedepan, " tambahnya.