Berita Palembang
Gubernur Herman Deru Bawa Tanah Bukit Siguntang ke IKN Nusantara, Juga Air Sungai Musi
Berangkat ke titik nol IKN Nusantara, Gubernur Sumsel Herman Deru membawa dua liter air Sungai Musi dan satu kilogram tanah Bukit Siguntang.
Penulis: Linda Trisnawati | Editor: Vanda Rosetiati
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Berangkat ke titik nol Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (13/3/2022), Gubernur Sumsel H Herman Deru membawa dua liter air dari sembilan sungai besar di Palembang atau Batanghari Sembilan yang menyatu di Sungai Musi Palembang
Selain itu dibawa juga satu kilogram tanah yang berasal dari Bukit Siguntang Palembang.
Tanah dan air ini selanjutnya akan disatukan dengan tanah dan air dari 33 provinsi lainnya di Indonesia, Senin (14/3/2022) hari ini.
Sebelumnya, Presiden RI, Joko Widodo mengintruksikan para Gubernur se-Indonesia untuk membawa 1 kilogram tanah dan 2 liter air dari masing-masing provinsi ke titik nol Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara yang tepatnya terletak di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur pada Senin, 14 Maret 2022.
Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) H Herman Deru langsung merespon intruksi Presiden Jokowi tersebut.
Sebelum terbang dari Bandara Internasional Sultan Mahmud Baddarudin II Palembang ke Kalimatan Timur pada Minggu, (13/3/2022) siang, Herman Deru menegaskan dirinya sudah menyiapkan air dan tanah dari Bumi Sriwijaya untuk selanjutnya dibawa ke titik nol Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara di Kalimantan Timur.
"Sesuai dengan yang dimintakan pak Presiden, kita dari Sumsel sudah menyiapkan berupa air dan tanah yang berasal dari Bumi Sriwijaya ini," kata Deru, Senin (14/3/2022)
Menuru Deru, adapun air sebanyak 2 liter yang dibawa ke titik nol IKN berasal dari 9 sungai besar di Sumsel atau tepatnya disebut Batanghari Sembilan yakni Sungai Kelingi, SungaiBeliti, Sungai Lakitan, Sungai Rawas, Sungai Rupit, Sungai Batang Leko, Sungai Ogan, Sungai Komering dan Sungai Lematang yang menyatu di Sungai Musi Kota Palembang.
"Batang Hari Sembilan filosofinya menggambarkan keberagaaman suku, budaya, adat dan istiadat masyarakat Sumsel. Meski masyarakat Sumsel hiterogen namun dalam kehidupan sehari-hari tetap rukun, saling menghormati satu sama lain, sehinga wajar jika kita sampai saat ini menyandang predikat Sumsel Zero Konflik," jelasnya.
Sementara itu untuk 1 kilogram tanah dibawa ke IKN, merupakan tanah asli dari Bumi Sriwijaya.
"Kita ingin menyampaikan pesan bawa dulunya di Sumatera Selatan ada kerajaan besar bernama Sriwijaya di abad ke 7 yang mampu menyatukan pulau-pulau besar dimana kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, bahkan sebagian Nusantara meliputi Sumatera hingga pulau Jawa," kata Deru.
Air dan tanah dari Bumi Sriwijaya tersebut disatukan dalam sebuah Kendi Nusantara yang disimpan di titik nol IKN oleh Presiden Jokowi.
Sejarah Situs Bukit Siguntang
Situs Bukit Siguntang atau Seguntang secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I, Kota Palembang.
Bukit Siguntang adalah sebuah bukit kecil yang tingginya sekitar 26 meter di atas permukaan laut dan merupakan bentang alam paling tinggi di Kota Palembang dengan luasan 12.8 hektar.
Siguntang memiliki arti "terguntang-guntang" karena dulunya merupakan lautan.
Letaknya di sebelah Barat Laut jembatan Ampera dan rimbun dengan pohon.
Kaki bukit Siguntang saat ini sudah dipadati pemukiman penduduk.
Sekitar tahun 1989an, di daerah kaki bukit sebelah Barat Laut dan Barat Daya masih merupakan daerah rawa yang luasnya hingga ke Talang Kikim, tempat ditemukannya runtuhan perahu kuno.
Bukit Siguntang terletak 5 km ke arah barat kota Palembang dan merupakan sebuah bukit yang sejak lama dikenal oleh para arkeolog dan sejarahwan sebagai situs tempat ditemukannya sebuah arca Buddha besar berlanggam Amarwati pada tahun 1922 oleh Residen Belanda di Palembang pada saat itu.
Selain dikenal sebagai tempat penemuan berbagai petinggalan sejarah dari masa Buddha, Bukit Siguntang dikenal sebagai kompleks pemakaman raja-raja Melayu yang dipercaya sebagai leluhur orang Melayu baik Sumatera maupun Singapura dan Malaysia.
Sampai saat ini, Bukit Siguntang menjadi tempat berziarah bagi para keturunan raja-raja Melayu dari masa kerjaan Melayu maupun kesultanan Palembang serta tempat berziarah bagi umat Buddha dari dalam dan luar negeri.
Kota Sriwijaya yang sekarang bernama Palembang, sejak sekitar abad ke 8-10 Masehi telah mengenal konsep pembagian ruang menurut keperluannya.
Wilayah pemukiman ditempatkan di daerah tepian Musi dan sungai lainnya, tempat tinggal penguasa di tanah darat tidak jauh dari tepian sungai.
Sementara tempat-tempat yang dianggap suci ditetapkan di daerah yang tinggi, termasuk Bukit Siguntang.
Melihat tinggalan-tinggalan sejarah yang ditemukan di Situs Bukit Siguntang, dapat dipastikan bahwa bukit kecil ini dulunya merupakan kawasan yang suci.
Bukit Siguntang oleh para arkeolog diindentifikasi sebagai situs agama.

Perjalanan Bukit Siguntang
Bukit Siguntang memiliki nilai penting bagi masyarakat Palembang dari masa ke masa.
Bukit suci ini mengalami perubahan pada memori kolektif masyarakat Palembang dengan ditemukannya arca-arca dan peninggalan dari masa Hindu dan Buddha Kerajaan Sriwijaya.
Setelah sekian lama, memori kolektif masyarakat lekat dengan Hikayat Melayu dan Kesultanan Palembang serta dengan keberadaan makam raja-raja Melayu di Bukit suci yang dipercaya secara turun temurun sebagai makam raja-raja keturunan Alexander The Great.
Perjalanan Bukit Siguntang terbentang dari Masa Sriwijaya berdasarkan temuan-temuan masa Hindu Buddha di Sumatera, sampai pada catatan dari Kisah Sejarah Melayu yang tertulis pada Kitab Sulalatus Sakarin.
Dalam kitab Sulalatus Sakarin dikisahkan turunnya penjelmaan dari Alexander The Great atau Iskandar Agung di Bukit Siguntang dan menurunkan keturunan Melayu yang menyebar sampai Malaysia dan Singapura.
Perjalanan Bukit Siguntang dimulai sejak masa kejayaan Maritim Sriwijaya pada masa Hindu dan Buddha di Sumatera.
Setelah itu pada masa kerajaan Melayu dan memasuki masa kolonialisme zaman Kesultanan hingga akhirnya seperti sekarang.
Mempelajari latar belakang panjang Bukit Siguntang dapat memberikan pandangan akan kayanya perjalanan bangsa ini dari masa ke masa.
Antara linimasa, memori kolektif dan sejarah temuan Bukit Siguntang, tergambar perjalanan sejarah bangsa khususnya perjalana sejarah masyarakat Palembang.
Arca Buddha
Arca Buddha dalam sikap berdiri diketemukan di Bukit Siguntang pada sekitar tahun 1920an.
Archa Buddha saat ini beredar di Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya Palembang.
Direkonstruksi dari temuan fragmen yang terpisah di beberapa tempat di kaki Bukit Siguntang, arca digambarkan memakai jubah transparan yang menutupi kedua bahunya.
Arca juga digambarkan berambut keriting dan bersanggul serta terdapat bulatan di dahinya.
Kedua tangan arca telah hilang, demikian juga kaki dan beberapa bagian badan terlihat pecah.
Menurut catatan Schnitger, ukuran arca pada saat rekonstruksi sekitar 360 cm.
Ciri-ciri ikonografi pada arca, menunjukan gaya Amarawati yang berkembang di India Selatan pada abad ke 2-5 Masehi dan gaya seni ini terus berkembang di Srilanka sampai abad ke 8.
Pendapat lain mengatakan penggambaran gaya berpakaian menunjukkan pengaruh dari gaya seni masa Gupta di abad ke 5 dan post-Gupta, diperkirakan arca berasal dari antara abad ke 6-7 Masehi.
Asal Usul Istilah Melayu
Jika kita menelusuri sumber sejarah yang menyangkut Melayu, maka kata Melayu sudah disebut-sebut dalam catatan I-Tsing yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 672.
Berdasarkan kronik Dinasti T'ang di China, terdapat nama kerajaan di Sumatera yang disebut Mo-Lo-Yue pada tahun 644 dan 645 Masehi.
Seorang pendeta Buddha China yang bernama I-Tsing dalam perjalanan ke India pernah tinggal di Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sansekerta selama enam bulan.
Dari Sriwijaya ini I-Tsing menuju ke Kerajaan Melayu dan tinggal di sana selama enam bulan, sebelum berangkat ke Kedah dan India.
Dalam perjalanan pulang ke China pada tahun 685 dia singgah di Kerajaan Melayu, yang sudah ditaklukkan oleh Sriwijaya (tahun 645-685 M).
Kerajaan Sriwijaya dan Melayu mulai pudar karena serangan Majapahit tahun 1365.
Selanjutnya orang-orang Jawa menguasi daerah ini.
Namun bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa pengantar di Nusantara sejak disebarkannya oleh kerajaan Sriwijaya dan Melayu sejak abad keenam.
Nama Bukit Siguntang sudah dikenal sejak lama, terbukti dengan penyebutannya dalam kitab sejarah Melayu yang ditulis pada tanggal 13 Mei 1612.
Dalam kitab tersebut dituliskan "Asapun negeri Palembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka Dihulu Sungai Tatang ada sebuah sungai, Melayu namanya; di dalam sungai itu ada bukit bernama Bukit Siguntang; di hulu Gunung Maha Miru, di daratnya ada satu padang bernama Padang Penjaringan. Maka ada dua orang perempuan berladang, Wan Empo seorang namanya dan Wan Malini seorang amanya; dan keduanya berumah di Bukit Si Guntang itu, terlalu luas humanya, syahadan terlalu jadi padanya, tiada dapat terkatakan; telah Gamper masak padi itu".
Peranan Siguntang Pada Masa Kerajaan Palembang
Selain sebagai tempat peribadatan dan perziarahan, peran penting Bukit Siguntang juga tercatat dalam "Kitab Sejarah Melayu" yaitu sebagai tempat asal usul raja-raja Melayu di Nusantara, baik yang ada di Indonesia, Sumatera Khususnya, maupun raja-raja yang pernah berkuasa di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Patani, Thailand Selatan.
Bahkan pada masa Sultan Mahmud Badaruddin bin Sultan Bahauddin, Bukit Siguntang pernah dijadikan tempat pengambilan sumpah bagi penduduk yang sedang bertikai, agar berdamai.
Adapun lokasi dilakukannya persumpahan tersebut adalah di makam raja Sebentar Alam (Sevenhoven).
Bukit Siguntang Dalam Sejarah Melayu dan Wisata Ziarah
Bukit Siguntang menjadi wisata ziarah yang dilakukan baik perseorangan atau rombongan dengan berkunjung ke makam-makam orang suci atau orang-orang terkenal dan pimpinan yang diagungkan.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan restu, berkah, kebahagiaan dan ketentramaan.
Hal ini disebabkan karena Bukit Siguntang dikeramatkan oleh sebagian kelompok masyarakat yang percaya terhadap makam keturunan raja-raja Sriwijaya, antara lain Segentar Alam, Puteri Kembang Dadar, Puteri Rambut Selako, Panglima Bagus Kuning, Panglima Bagus Karang, Panglima Tuan Junjungan, Pangeran Raja Batu Api, dan Panglima Jago Lawang.
Segentar Alam merupakan sosok yang dianggap perkasa keturunan Iskandar Zulkarnain.
Dirinya merupakan pembawa petuah yang berhasil membawa kemakmuran dan kejayaan bagi wilayahnya.
Tidak jauh dari makam Segentar Alam terdapat makam Puteri Kembang Dadar yang dipercaya adalah anak Segentar Alam.
Secara etimologi, nama Puteri Kembang Dadar berasal dari tiga kata yaitu Puteri yang dapat diartikan sebagai panggilan kehormatan bagi seorang perempuan.
Sementara kembang dapat diartikan sebagai bunga, yaitu karunia alam yang gemar dan dikagumi banyak orang.
Sedangkan dadar bermakna ujian.
Jadi secara harfiah, Puteri Kembang Dadar merupakan gelar yang dapat diartikan sebagai Puteri yang dimuliakan dan dikagumi karena mampu menahan ujian dan segala macam cobaan karena kesaktiannya.
Sebagian masyarakat rumpun Melayu seperti Riau, Singapura, dan Malaysia menjadikan Bukit Siguntang sebagai tempat yang wajib dikunjungi karena leluhur mereka Sang Nila Utama, Tri Buwana, Parameswara, Wan Empu dan Wan Malini berasal dari Bukit Siguntang.
Detail Informasi
Nama : Bukit Siguntang atau Seguntang
Alamat : Jalan Sultan Muhammad Mansyur
Kelurahan : Bukit Lama
Kecamatan : Ilir Barat I
Kota : Palembang
Provinsi : Sumatera Selatan
Luasan lahan : 12.8 hektare
Jam operasional : 08.00-16.00 setiap hari.
Fasilitas : Musolla, toilet, pendopo, area parkir, galery, menara pandang, pagoda dan lain-lain.
Posisi : https://www.google.com/maps/search/bukit+siguntang/@-3.0282162,104.716402,14z
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribuntribunsumselwiki.com dengan judul Bukit Siguntang.
Baca berita lainnya langsung dari google news.