Perempuan Dalam Islam
Bolehkah Perempuan Menjadi Saksi Nikah, Ini Penjelasan Ulama 4 Mazhab, Juga Hukum di Indonesia
Selama ini saksi nikah umumnya dua orang lelaki. Lantas, sebenarnya bolehkah perempuan menjadi saksi nikah.
Penulis: Vanda Rosetiati | Editor: Vanda Rosetiati
Namun demikian, pada implementasinya, kesaksian wanita dalam pernikahan tidak pernah dijumpai karena Kompilasi Hukum Islam tidak membolehkannya.
Kedudukan Saksi Nikah
Deni Firman Nurhakim, penghulu dari KUA Kecamatan Cilebar Kab. Karawang, Jawa Barat dikutip dari jabar,kemenag,go,id memuat pengertian saksi nikah adalah orang yang melihat, mendengar, atau mengetahui sendiri suatu peristiwa/kejadian akad nikah antara wali nikah/wakilnya dengan calon suami/wakilnya dengan tujuan mereka kelak dapat memberikan keterangan yang diperlukan guna kepentingan perkara tentang pernikahan yang diketahuinya itu.
Menurut jumhur ulama, saksi nikah bukan termasuk rukun nikah, melainkan syarat sah nikah. Dalam pandangan mayoritas ulama, rukun nikah itu ada empat: a. shigat (ijab qobul), b. isteri, c. suami, dan d. wali (Wahbah Zuhaeli, Juz 7, 1989: 36-37).
Adapun saksi dikelompokkan sebagai syarat sah nikah seperti halnya maskawin.
Namun demikian, ada sebagian ahli fiqh yang menganggap saksi sebagai rukun nikah. Dan pandangan terakhir inilah yang kemudian diadopsi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI):
“Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah” (pasal 24:1), sehingga, “Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi” (pasal 24:2).
Ketentuan KHI soal saksi nikah di atas, juga sebelumnya diatur dalam pasal 10 ayat 3 PP No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1/1974 tentang Perkawinan: “Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.
Alhasil, terlepas dari perbedaan pendapat antara saksi sebagai syarat nikah atau saksi sebagai rukun nikah, yang jelas saksi menempati posisi penting dalam akad nikah. Karena Nabi SAW memerintahkan kita mengumumkan pernikahan yang terjadi, dengan sabdanya: “A’linuu an-Nikaah...” (HR. Ahmad).
Berdasarkan hadits ini, hikmah suatu kesaksian adalah untuk mengumumkan (I’lan) telah terjadinya suatu pernikahan dan mengukuhkan tetapnya suatu pernikahan di masa mendatang bila terjadi pengingkaran nikah (Wahbah Zuhaeli, 1989: 73).
Saksi Pengesah Akad Nikah?
Sebagaimana tercantum dalam pasal 2:1 UU No 1/1974 tentang perkawinan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian, yang menjadi penentu sah/tidaknya suatu pernikahan orang Islam adalah bisa dilacak dari ketentuan-ketentuan hukum Islam (fiqh Islam) soal itu.
Dalam ketentuan fiqh Islam yang masyhur yang kemudian diadopsi dalam pasal 14 KHI, secara singkat dapat ditegaskan bahwa pernikahan itu sah apabila telah terpenuhi 5 rukun nikah (calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qobul), berikut syarat-syarat yang mengiringinya.
Melihat fungsi saksi dalam akad nikah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, saksi bukan pihak yang berhak mengesahkan akad nikah.
Keberadaannya memang penting, karena di masa sekarang (sesaat setelah akad nikah) fungsinya adalah untuk mengumumkan telah terjadi suatu pernikahan. Dan di masa mendatang, fungsinya adalah untuk mengukuhkan tetapnya suatu pernikahan bila terjadi pengingkaran pernikahan.