Siapa Sarah Gilbert Penemu Vaksin AstraZeneca, Dapat Standing Ovation di Wimbledon, Ini Profilnya

Inilah Sarah Gilbert, penemu vaksin AstraZeneca dan enggan ambil hak paten penuh agar harga vaksin murah

Editor: Weni Wahyuny
(UNIVERSITY OF OXFORD)
Sarah Gilbert, salah satu ilmuwan pencipta vaksin AstraZeneca. 

TRIBUNSUMSEL.COM, LONDON - Mengenal sosok Dame Sarah Gilbert, salah satu pencipta vaksin AstraZeneca asal Inggris.

Namanya belakangan jadi sorotan karena mendapat standing ovation meriah dari para penonton Wimbledon 2021 di Inggris.

Publik pun memberi apresiasi atas hasil kerja keras Sarah Gilbert.

Ia hadir di laga pembuka turnamen tenis akbar Wimbledon 2021 di Inggris.

Gilbert termasuk di antara sejumlah "individu inspiratif" yang diundang untuk menonton pertandingan hari pertama di zona kerajaan Inggris.

Sarah Gilbert sebelumnya mengaku enggan mengambil penuh hak paten agar harga vaksin Covid-19 ciptaannya bisa murah.

"Saya ingin buang jauh-jauh gagasan itu (mengambil hak paten penuh), agar kita bisa berbagi kekayaan intelektual dan siapa pun bisa membuat vaksin mereka sendiri," ujar wanita berusia 59 tahun itu ke parlemen Inggris, dikutip dari Reuters, 11 Maret 2021.

Kala itu sedang ada pembahasan tentang siapa pemegang hak paten vaksin Covid-19 nantinya.

Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) yang mendukung lebih banyak produksi untuk negara-negara miskin, juga sepakat dengan Prof Gilbert.

Sarah Gilbert, salah satu ilmuwan pencipta vaksin AstraZeneca.
Sarah Gilbert, salah satu ilmuwan pencipta vaksin AstraZeneca. ((UNIVERSITY OF OXFORD))

"Bukan kekayaan intelektual tunggal yang bisa membuat produk (vaksin) ini," ujar Presiden DCVMN, Sai Prasad, yang juga petinggi di produsen vaksin India, Bharat Biotech.

Sejalan dengan pemikiran Sarah Gilbert, AstraZeneca pun meneken persetujuan dengan Oxford untuk tidak mengambil profit dari vaksin corona buatan mereka.

"Tudingan bahwa kami menjual ke negara lain untuk menghasilkan lebih banyak uang tidak benar, karena kami tidak mengambil profit di mana-mana," ungkap CEO AstraZeneca, Pascal Soriot, dikutip dari Health Policy 28 Januari 2021.

"Itu kesepakatan yang kami miliki dengan Universitas Oxford."

AstraZeneca menyatakan, mereka baru akan menentukan harga setelah pandemi Covid-19 usai, menurut keterangan juru bicaranya kepada Kaiser Health News, 25 Agustus 2020.

"(Kami) berkomitmen memastikan akses yang adil, secara global," ujarnya.

Keputusan ini berdampak pada harga vaksin AstraZeneca yang lebih murah dari kompetitor mereka.

Mengutip artikel Kompas.com pada 12 Desember 2020, berikut adalah perbandingan kisaran harga-harga vaksin virus corona per dosis yang kini telah digunakan.

Oxford-AstraZeneca: Rp 56.000 per dosis
Johnson & Johnson dan Sputnik V: Rp 141.000 Sinovac: Rp 200.000 per dosis
Novavax: Rp 226.000 per dosis
Pfizer-BioNTech: Rp 283.000 per dosis
Moderna: Rp 526.000 per dosis

Meski yang termurah, efikasi atau kemanjuran vaksin AstraZeneca cukup tinggi, termasuk mencegah infeksi Covid-19 varian Delta hingga 92 persen.

Lebih dari 600 juta dosis vaksin AstraZeneca telah dipasok ke 170 negara di seluruh dunia, termasuk 100 negara lebih yang tergabung dalam COVAX.

Sekilas tentang Sarah Gilbert

Ibu tiga anak tersebut lahir di Kettering, Northamptonshire, Inggris, pada April 1962.

Ayahnya adalah pekerja di perusahaan sepatu, sementara ibunya guru bahasa Inggris dan anggota opera amatir lokal.

Sarah Gilbert mengenyam pendidikan sampai jenjang doktoral di University of Hull Inggris, kemudian mempelajari manipulasi ragi pembuatan bir, lalu beralih kerja ke bisang kesehatan manusia.

BBC menuliskan, Gilbert tidak pernah berniat terjun ke dunia spesialis vaksin.

Ia tidak sana berkecimpung di bidang tersebut setelah pertengahan 1990-an bekerja di Universitas Oxford meneliti genetik malaria, dan berlanjut mengerjakan vaksin penyakit tersebut.

Sarah Gilbert tidak sendirian menciptakan vaksin AstraZeneca.

Ia bekerja dengan para ilmuwan lain termasuk koleganya di Oxford, Catherine Green.

Mereka berbagi tugas.

Sarah Gilbert memimpin tim pengembangan awal, sedangkan Catherine Green mengurusi produksi batch pertama untuk uji klinis.

The Guardian mewartakan, duet Gilbert-Green juga menelurkan buku berjudul Vaxxers yang mengisahkan lika-liku pembuatan vaksin Covid-19 Oxford-AstraZeneca.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Ilmuwan Vaksin AstraZeneca Enggan Ambil Hak Paten Penuh agar Harganya Murah"

Sumber: Kompas
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved