Raih Gelar Profesor Usia 37 Tahun, Kritik UU Cipta Kerja, Eddy Hiariej Jadi Wamenkumham

Pada usia 47 tahun, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada ini dilantik sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, Rabu (23/12/2020)

Editor: Wawan Perdana
Kompas TV
Profil Eddy Hiariej, Guru Besar UGM yang ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM. 

TRIBUNSUMSEL.COM, JAKARTA-Karir Omar Sharif Hiariej atau kerap disapa Eddy OS Hiariej tergolong cukup cemerlang.

Pada usia 47 tahun, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada ini dilantik sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, Rabu (23/12/2020).

Statemen dan analisinya sangat tajam sehingga Eddy selama ini kerap dimintai pendapat terkait isu-isu di bidang hukum.

Eddy juga tercatat beberapa kali menjadi ahli dalam persidangan.

Pria kelahiran Ambon, 10 April 1973, dikenal sebagai sosok akademisi.

Ia meraih gelar profesor pada usia yang terbilang muda, yakni 37 tahun.

Baca juga: Datang Paling Pagi Pulang Paling Malam Saat Tri Rismaharini Jadi Mensos Sebut Jangan Sungkan

Selain itu, nama Eddy juga sempat menjadi perbincangan ketika ia menjadi ahli dalam sidang perselisihan hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi.

Saat itu, Eddy dihadirkan sebagai ahli oleh pasangan capres dan cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Dalam sidang tersebut, kredibilitas Eddy sempat dipertanyakan Bambang Widjojanto yang saat itu menjadi Ketua Tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Ketika itu, Bambang menanyakan berapa banyak buku dan jurnal internasional yang ditulis Eddy terkait persoalan Pemilu.

Eddy mengakui dirinya memang belum pernah menulis buku yang spesifik membahas soal pemilu.

Namun, ia menekankan, seorang profesor atau guru besar bidang hukum harus menguasai asas dan teori untuk menjawab segala persoalan hukum.

Baca juga: PKS Minta Mensos Risma Segera Mundur dari Wali Kota Surabaya : Emang Dia Siapa ?

"Saya selalu mengatakan, yang namanya seorang guru besar, seorang profesor hukum, yang pertama harus dikuasai itu bukan bidang ilmunya," ujar Eddy dalam sidang lanjutan sengketa hasil pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).

Eddy juga pernah menjadi ahli dalam sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin yang kerap dikenal sebagai kasus kopi sianida.

Mengkritik UU Cipta Kerja

Kendati kini bergabung dalam pemerintahan, Eddy juga dikenal sebagai salah satu sosok yang mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja.

Ia mengatakan, UU Cipta Kerja berpotensi menjadi "macan kertas" karena tidak memiliki sanksi yang efektif.

Ia juga menilai UU Cipta Kerja tidak sesuai prinsip titulus et lex rubrica et lex yang berarti isi dari suatu pasal itu harus sesuai dengan judul babnya.

"Dia (UU Cipta Kerja) bisa sebagai macan kertas. Artinya apa? Artinya sanksi pidana dan sanksi-sanksi lainnya bisa jadi dia tidak bisa berlaku efektif," kata Eddy, dikutip dari Tribunnews.com, Rabu (7/10/2020).

"Saya melihat dalam RUU Cipta Kerja itu ada sanksi pidana di dalamnya, tetapi di atas tertulisnya adalah sanksi administrasi. Padahal, sanksi administrasi dan sanksi pidana itu adalah dua hal yang berbeda secara prinsip. Jadi judulnya sanksi administrasi, sementara di bawahnya itu sanksi pidana isinya," tambah Eddy.

Ia juga menilai ada kesalahan konsep penegakan hukum dalam UU Cipta Kerja, terutama terkait pertanggungjawaban korporasi ketika melakukan pelanggaran.

Sebab, dalam UU itu, pertanggungjawaban korporasi berada dalam konteks administrasi atau perdata.

Namun, aturan tersebut juga memuat sanksi pemidanaan bagi korporasi.

"Ujug-ujug ada sanksi pidana yang dijatuhkan kepada korporasi dan celakanya itu adalah pidana penjara," kata dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Eddy Hiariej, Pengkritik UU Cipta Kerja yang Jadi Wamenkumham",

Sumber: Kompas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved