Berita Palembang

Ayah Hamili Anak Kandung Hingga 2 Kali, WCC Palembang: Banyak Kasus Serupa tak Terungkap

Sebanyak 51 kasus atau setara 49,5 persennya merupakan kasus kekerasan seksual yang terdiri dari macam-macam bentuknya tak terkecuali incest.

Tribunsumsel.com
Pasutri terduga pelaku pencabulan terhadap anak kandung dan penganiayaan. 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Direktur Eksekutif WCC Palembang, Yeni Roslaini Izi angkat bicara terkait kasus ayah kandung di Kabupaten Banyuasin berinisial EM (43) yang tega membuat anak kandungnya sendiri, DS (17) sampai hamil dua kali.

Tak hanya itu, DS juga mengalami tindak penganiayaan oleh GS (36) ibu tirinya yang emosi karena mengetahui kehamilan korban.

Terkait hal tersebut, Yeni mengatakan, satu dari sekian kasus kekerasan seksual dan fisik terhadap perempuan yang berhasil terungkap ke publik.

"Perlu diketahui bersama bahwa ada begitu banyak kasus serupa yang tidak terungkap di masyarakat," ujarnya, selasa (15/12/2020).

Lebih lanjut dikatakan, ada beberapa faktor yang membuat kasus kekerasan seksual termasuk hubungan sedarah (incest) banyak tak terungkap.

Selain karena dianggap sebagai aib, seringkali perasaan takut dan persoalan ekonomi menjadi dasar yang membungkam kasus ini.

Bahkan mirisnya, dalam kasus incest, seringkali justru pihak terdekat dalam hal ini seperti ibu kandung korban yang meminta agar kasus ini tak diusut hingga tuntas.

"Misalnya pelaku adalah ayah kandung korban yang merupakan sosok utama dalam mencari nafkah di keluarga. Hal ini juga mempengaruhi keyakinan pihak keluarga untuk melaporkan tindakan tak pantas yang dilakukan pelaku. Keluarga takut, nantinya siapa yang akan cari nafkah jika sang ayah harus menjalani proses hukum. Selain tentunya juga karena persoalan seperti ini dianggap aib oleh keluarga korban," ujarnya

Hal inilah yang dikatakan Yeni dapat membuat keadaan korban semakin terpuruk.

Sebab tak hanya mendapat tindakan kekerasan seksual, namun juga harus merasakan tertekan batin karena pelaku tidak mendapat hukuman maksimal.

"Belum lagi bayang-bayang perbuatan serupa akan kembali dilakukan pelaku, sudah pasti akan selalu menghantui perasaan korban," ujarnya.

Untuk itu, WCC selalu mendesak agar Rancangan undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) bisa segara disahkan.

Sebab dalam undang-undang tersebut telah diatur sedemikian rupa terkait hal-hal yang menyangkut kekerasan seksual.

Tak hanya soal pidana bagi pelaku, dikatakan Yeni, RUU PKS juga jelas mengatur peran negara dalam penanganan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.

"Itulah yang paling penting karena menurut kami justru pemulihan dari korban kekerasan seksual masih jadi persoalan krusial karena masih belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah. Padahal trauma yang dialami korban tidak hanya dialami bertahun-tahun tapi bisa sampai seumur hidup," ujarnya.

Berdasarkan catatan, WCC Palembang telah menangani 103 kasus kasus kekerasan pada perempuan dan anak sepanjang Januari hingga November 2020.

Mirisnya, sebanyak 51 kasus atau setara 49,5 persennya merupakan kasus kekerasan seksual yang terdiri dari macam-macam bentuknya tak terkecuali incest.

Yeni mengatakan, sejatinya, kasus kekerasan seksual dapat terjadi salah satunya dikarenakan adanya ketimpangan gender dan relasi antara pelaku dan korban.

"Misalnya terjadi pada ayah dan anak, paman dan keponakan, adik dan kakak, guru dan murid, dosen dan mahasiswa serta majikan dan pembantu. Tapi memang berdasarkan pengalaman kami, hal itu lebih banyak terjadi pada ayah dan anak," ujarnya.

Maka dari itu, ia mengatakan, perlunya kesadaran bersama di tengah masyarakat untuk sama-sama tak tinggal diam saat mengetahui adanya tindak kekerasan seksual disekitar kita, sangat diperlukan.

Ia juga menilai, pentingnya edukasi seksual sejak dini juga dianggap efektif untuk dilakukan.

Sebab hal tersebut dianggap setidaknya dapat memberikan edukasi bagaimana bersikap atau menghindari adanya kekerasan seksual yang bisa saja dilakukan orang-orang disekitar kita.

"Dan juga kepekaan dan rasa kepedulian antar satu sama lain di tengah masyarakat juga harus ditingkatkan. Misalnya ada seseorang gadis yang terlihat murung beberapa waktu terakhir atau terjadi perubahan drastis di tubuhnya secara tiba-tiba, ya kita selaku orang sekitarnya tentu harus peduli. Jangan hanya didiamkan saja dan dianggap angin lalu. Rasa kepedulian itu harus ada," ujarnya.

"Termasuk juga dengan anggapan menganggap korban turut bersalah sehingga kasus kekerasan bisa terjadi padanya, juga harus dihentikan. Tentu tidak ada yang mau mengalami kejadian itu. Jangan membuat korban yang sudah dalam keadaan terpuruk, malah semakin terpuruk dengan stigma negatif yang tanpa sadar atau tidak diberikan masyarakat ke korban tersebut," katanya menambahkan.

Persetubuhan Anak di Bawah Umur 

Pasangan suami istri (Pasutri) E (43) dan G (36) warga Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin ditangkap Polres Banyuasin.

Keduanya diduga kompak melakukan aksi penganiayaan dan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur.

Kapolres Banyuasin AKBP Danny Ardiantara Sianipar SIk melalui Kasat Reskrim AKP M Ikang Ade Putra SIk MH, Senin ,(14/12/2020) mengatakan, bahwa ungkap kasus dugaan tindak pidana persetubuhan terhadap anak.

"Kasus dugaan tindak pidana persetubuhan terhadap anak dibawah umur dan penganiayaan disertai kekerasan terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), (3) dan pasal 80 ayat (1) undang - undang No 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak," kata Kapolres.

"Sosok orang tua seharusnya melindungi dan menjaga anak bukannya, dijadikan pelampiasan napsu belaka.

Tentunya se pandai-pandai tupai melompat akan jatuh jua," tutur AKBP Danny, perbuatan bejat akan terungkap juga.

Demikian dijelaskan AKP M Ikang, modus dan uraian kejadian, tersangka atas nama E, 2008 lalu, melakukan persetubuhan terhadap anak kandungnya sendiri dengan cara mengancam korban hingga korban hamil dan melahirkan anak yang saat ini berusia 2 tahun.

Kembali terjadi, tersangka E melakukan persetubuhan terhadap anak kandungnya tersebut hingga hamil 7 bulan.

Masih kata Kasat yang menirukan pengakuan tersangka E, selama hamil korban di urut dan dianiaya oleh pelaku dengan tujuan agar kehamilan korban bisa gugur.

Sementara tersangka G istri E, menganiaya korban karena korban hamil dan menanyakan siapa yang telah menghamili, karena saat di tanya korban takut karena saat itu ada tersangka Edi.

Sehingga tersangka G ibu korban melakukan penganiayaan terhadap korban yang mengakibatkan beberapa luka memar di hampir sekujur tubuh korban.

"Dari hasil kronologis dan penangkapan, berdasarkan hasil penyelidikan diketahui keberadaan tersangka dan barang bukti kemudian pada hari Senin tanggal 14 Desember 2020 pukul 13.00, Satreskrim berhasil mengamankan pasutri ini," tandasnya.

Ikuti Kami di Google

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved