Mencari Solusi Elpiji Subsidi

Elpiji Subsidi Bukan Roti, Butuh Kendali Sepenuh Hati

Sebagai barang bersubsidi yang kini kecenderungannya dijual secara terbuka, elpiji subsidi itu seoalah-olah ibarat roti yang bisa dijual siapa saja

Penulis: Prawira Maulana | Editor: Wawan Perdana
zoom-inlihat foto Elpiji Subsidi Bukan Roti, Butuh Kendali Sepenuh Hati
TRIBUNSUMSEL.COM/SIEMEN
ELPIJI SUBSIDI - Distribusi elpiji subsidi harus dikendalikan sepenuh hati.

Subsidi elpiji sangat terbuka. Golongan berada tak malu mencicipinya.

“APA bapak pernah antre tiga jam demi bisa goreng ikan buat makan malam? Kalau saya sih pernah,” kata Yaniva (38). “Paling sering pas bulan puasa.”

Yaniva cerita, dulu keluarganya pakai gas elpiji 3 kilogram. Jika sedang langka, dia yang punya dua tabung, terpaksa sering membawa adiknya antre di pangkalan.

Rabu (16/09) sore itu, Yaniva baru keluar dari Indomaret Jalan Srijaya Palembang. Tangan kirinya menjinjing plastik belanjaan, kanannya menenteng tabung bright gas 5,5 kg merah jambu. Dua tiga jurus setelahnya, tabung berisi itu sudah nangkring di pijakan kaki kanan motor maticnya.

“Kalau sekarang saya lebih pede bawa gas ini naik motor kemana-mana. Dulu saya kayak tukang gorengan ” katanya. Jika habis barang di Indomaret dia tinggal maju sedikit ke Alfamart. Setelah move on ke non subsidi, Yaniva kini tak lagi berjibaku mencari elpiji subsidi.

Lain lagi dengan Nun (36). Pengasuh rangkap pembantu rumah tangga di Komplek Pemda Jalan Pramuka Palembang ini diwawancarai malah berironi. "Dari lima barang paling berharga di rumah saya, satu diantaranya ya tabung gas melon," katanya.

Sering malam-malam Nun pernah kehabisan gas sementara besok pagi harus masak. Malam itu juga, berjalan kaki dia menggedor rumah majikannya yang tak jauh.

"Boss saya selalu punya tabung melon yang berisi untuk cadangan. Sering saya pinjam dulu, biasanya dia kasihan," katanya.

Pilihan mengupgrade tabung dari 3 kilogram ke nonsubsidi seperti yang dilakukan Yaniva bukan opsi yang masuk akal bagi Nun.

Warga miskin seperti Nun yang memang harus dijaga agar tetap bisa akses elpiji subsidi. Sayangnya akses tersebut makin sempit. Karena Nun harus bersaing membeli elpiji melon dengan sang majikan yang hidup berkecukupan dan memiliki cadangan beberapa tabung yang sebenarnya untuk rakyat miskin itu.

Di Kota Palembang, jejeran tabung gas melon bersegel mudah di temui di warung-warung kecil. Di tempat pengisian air minum isi ulang, gas melon ibarat pasangan galon tak terpisahkan.

”Tetangga-tetangga saya yang berduit kalau beli gas melon diantar sekalian dengan galon air minum. Harganya lebih mahal sekitar Rp 7 ribu,” kata Nun.

Disparitas harga elpiji subsidi dan non subsisi cukup besar. Sebagai gambaran, harga eceran tertinggi (HET) di level pangkalan di Palembang tak boleh lebih dari Rp 16.000.

Namun, elpiji malah banyak dijual pengecer. Di pengecer harganya tidak terkontrol, bisa sampai Rp 23 ribu sampai Rp 30 ribu per tabung.

Meski sudah lebih mahal dari ketentuan yang diatur pemerintah, harga 23 ribu itu masih jauh lebih murah dibanding harga elpiji non subsidi. Harga Bright Gas ukuran 5.5 kilogram biasanya dibandrol Rp 73 ribu jika tukar di minimarket.

Narasi Elpiji

Sementara itu, Dewi Sri Utami, Region Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Sumbagsel selalu menemui masalah berulang jika satu waktu ada perkara kelangkaan elpiji subsidi.

Paling tidak ada dua pekerjaan yang harus dia lakukan secara berbarengan. Mengatasi kelangkaan dan membetulkan narasi. “Misalnya ada judul berita begini, harga elpiji melon tembus Rp 30 ribu, pedagang mengeluh langka,” kata Dewi saat diwawancarai belum lama ini.

Menurut Dewi, saat kondisi seperti itu, ia harus bisa menegaskan langkah koorporasinya dalam menyelesaikan perkara itu. “Misalnya lewat operasi pasar,” katanya. Namun, di saat yang sama dia juga harus membetulkan narasi tentang duduk perkara elpiji subsidi.

Menurut Dewi, meski sudah diluncurkan belasan tahun lalu, narasi tentang jalur distribusi elpiji sering salah diterima masyarakat. Banyak yang beranggapan distribusi elpiji subsidi itu menjadi tanggung jawab Pertamina, termasuk siapapun penjualnya di bawah pengawasan Pertamina bahkan warung. Elpiji subsidi seolah-olah bisa dijual siapa saja.

“Maaf, kadang media juga salah memahami konteksnya,” katanya.

Padahal menurut aturan pemerintah yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2009, distribusi elpiji tertentu atau subsidi berakhir di level pangkalan bukan di pengecer atau warung. “Nah, narasi itu yang harus kami luruskan, bahwa tanggung jawab Pertamina hanya sampai di pangkalan," kata Dewi.

Menurutnya, sebagai barang bersubsidi yang kini kecenderungannya dijual secara terbuka, elpiji subsidi itu seoalah-olah ibarat roti yang bisa dijual siapa saja.

Jika ada warung yang menjualnya sampai Rp 30 ribu, warung itu merasa tidak salah karena dia mengambil untung. “Padahal warung menjual elpiji saja sudah salah,” katanya.

Karena itu, Dewi terus menyosialisasikan bahwa elpiji subsidi adalah untuk rakyat miskin dan usaha mikro.
Masyarakat mampu tak boleh menikmatinya.

Kartu Kendali

Bersama pemerintah daerah saat ini Pertamina sedang gencar mendorong penerapan kartu kendali elpiji subsidi.

Kartu kendali adalah jalan keluar untuk menyelesaikan perkara distribusi, kelangkaan dan ketidaktepatan sasaran. Misalnya di Kabupaten Lahat Sumatera Selatan, saat ini pemerintah daerahnya sedang menyusun program agar distribusi elpiji subsidi terkendali dan memang untuk yang berhak.

“Operasi pasar dan penambahan kuota saja tak cukup. Distribusi elpiji harus dikendalikan sepenuh hati agar tepat sasaran,” kata Dewi.

Sinergi semua pihak menjadi kuncinya. Karena dengan segala keterbatasan instrumen yang dimiliki Pertamina, yang sejatinya melakukan pengawasan dan menjaga agar tepat sasaran hingga tingkat pangkalan, namun dalam praktiknya tetap harus memenuhi ketersediaan elpiji bagi masyarakat.

Seperti Dewi, jargon “tulus melayani” harus dipraktikan secara harfiah, untuk menghadapi semua perkara, termasuk untuk elpiji ini. Utamanya kendali, agar warga seperti Nun bisa terus mengakses subsidi.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, sejak awal diluncurkan pada era inisiatif Wakil Presiden Jusuf Kalla lalu sebenarnya distribusi gas elpiji sifatnya subsidi tertutup.

“Ingat dulu konversi minyak tanah ke gas elpiji. Ada kartu-kartu pembagian pada warga miskin untuk dapat tabung,” katanya.

Subsidi tertutup artinya, hanya orang-orang yang berhak, dalam hal ini masyarakat miskin yang boleh mengaksesnya. Namun belakangan distribusi yang sifatnya tertutup itu lalu jadi terbuka.

Perjalanan menjadi seolah-olah subsidi terbuka ini terjadi karena gelombang peralihan warga mampu yang ingin juga menikmati gas elpiji 3 kilogram di pasaran.

“Kualitasnya sama tapi harganya lebih murah. Tentu warga ramai-ramai berbondong-bondong,” katanya. Subsidi semakin hari jadi tak terkendali.

Menurut Tulus, alhasil, masyarakat miskin yang harusnya mendapatkan haknya terampas. “Itu jelas-jelas hak mereka,” kata Tulus.

Belakangan muncul wacana dan dorongan dari berbagai pihak untuk mengubah sifat subsidi ini tertutup dan tegas. Kartu kendali diyakini jadi solusi.

Saat pemerintah pusat belum memutuskan, banyak daerah sudah lebih dulu memulai.

Rentan Politisasi

Pertimbangan-pertimbangan menurut Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan memang harus diukur tepat dalam perkara subsidi elpiji.

Apalagi di masa-masa Pilkada serentak seperti sekarang. Sehingga wajar menimbang dua sampai puluhan kali untuk mengubah sifat subsidi.

“Jangan sampai isu kelangkaan elpiji malah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu (dipolitisir). Saya rasa sangat mungkin sekali. Misalnya saja untuk menyerang petahana saat terjadi kelangkaan,” katanya. Menurut Mamit, politisasi seperti ini jamak terjadi.

Semua kebijakan yang berkaitan dengan subsidi elpiji memang harus ditimbang matang di masa agenda politik dan pandemi seperti sekarang. Elpiji pun menjadi isu yang paling mudah menjadi cantolan untuk menggulirkan adanya agenda kepentingan tertentu.

Meski kita semua pihak sudah yakin pola distribusi harus diubah, namun jika diluncurkan di saat momentum yang tak tepat malah bisa jadi masalah baru.

Semua kebijakan harus dikoordinasikan dengan baik. Menurut Mamit, selain dipolitisasi, kecenderungan pemanfaatan isu elpiji subsidi digunakan untuk menyerang Pertamina di seluruh daerah. "Selalu saja pertanyaanya kenapa masih terjadi kelangkaan?,” katanya.

Beleid tentang pembinaan pengawasan pendistribusian tertutup elpiji tertentu yang tertuang dalam Peraturan Bersama Mendagri dan Menteri ESDM No.17 Tahun 2011, telah mengatur bagaimana pengelolaan distribusi elpiji secara tertutup secara detail apabila akan di laksanakan di daerah. Namun aturan tersebut hanya tertulis saja. Tidak semua daerah melaksanakannya.

Elpiji subsidi bukan roti yang bisa didagang siapa saja. Tak boleh juga dibeli siapa saja. (prawiramaulana)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved