Berita Pendidikan
Curhat Siswa di Lahat Tak Kenal Apa Itu Internet, Sinyal Saja Tak Sampai di Desanya
Tidak adil jika siswa harus belajar dengan menggunakan internet sementara pemerintah tidak menyediakan layanan jaringanya
Bukan soal PPJ saja, dengan masih minimnya akses tehnologi akan membuat warga berpenduduk ribuan tersebut ketinggalan.
Disisi lain, jika harus sekolah ke ibu Kota Kecamatan atau ke Ibu kota Kabupaten Lahat, sangat jauh dan membutuhkan lebih banyak biaya.
"Gak bisa dipaksakan juga pendidikan harus PJJ. Nah, kami selaku orang tua bersyukur tanpa adanya jaringan internet para guru siswa bersedia jemput bola dengan mendatangi siswa dan menerapkan pola pembelajaran terbatas di sekolah dengan mengedepankan protokol kesehatan, "ucapnya.
Bukan hanya siswa dan para orang tua, guru guru di SD 11 Desa Tunggul Bute, dibuat 'Pusing tujuh keliling' dengan adanya penerapan PPJ ini lantaran tidak adanya jaringan internet.
"Desa Tunggul Bute ini berada di atas bukit dan dulu pernah disebut desa diatas awan. Desa ini masih dikelingi hutan dan perkebunan. Jangankan internet, kita sebagai guru saja kesulitan jika ingin berkomunikasi lewat HP,"ungkap Andi Irawan, SP.d. kepala Sekolah SD 11 Tunggul Bute, Kota Agung, Lahat.
Sejak adanya kebijakan belajar PJJ internet lantaran pandemi covid 19, dilanjutkan Andi, awalnya ia bersama guru kebingungan bagaimana menyikapi hal tersebut.
Terlebih para siswa terancam tidak bisa sekolah dan belajar sama sekali selama covid 19 masih ada.
Akhirnya, bersama guru dibuatlah sistem PJJ manual dimana guru yang datang ke rumah siswa atau dengan sistem jemput bola sehingga tidak terjadi kerumunan.
Namun disayangkan Andi, siswa siswinya yang berjumlah 90 orang ditambah jarak rumah siswa yang saling berjauhan membuat tidak efektif sehingga sistem tersebut tidak bisa dilakukan oleh sekolah.
"Awalnya demi anak didik belajar dan dapat pengarahan dari guru, guru mendatangi siswa. Namun, disini banyak siswa yang tinggal diperkebunan atau saling berjauhan jadi tak maksimal,"tuturnya.
Saat ini, kata dia agar siswa tetap belajar diterapka sistem datang ke sekolah.
Namun, dalam satu kelas dibagi dua.
Misalnya dalam satu kelas ada 20 siswa perhari hanya 10 siswa.
Dalam satu minggu, siswa hanya dibebankan datang ke sekolah selama dua hari secara bergantian.
Kedatangan siswa juga, jelas Andi, hanya untuk menjemput tugas dan mendengar penjelasan daru para guru.
Selebihnya, tugas sekolah di kerjakan di rumah masing masing.
"Kalau sial PPJ masalahnya ada di jaringan. Jadi selama jaringan tidak ada maka tidak akan pernah bisa siswa kami bisa mengikuti PPJ. Harapan kita ya pemerintah bisa memasukkan jaringan ke desa ini, "harapnya. (SP/ Ehdi Amin)