Surat Remaja Gresik untuk PM Australia, Jerman dan Trump: Mengapa Kalian Kirim Sampah ke Indonesia?
Dalam suratnya, gadis 12 tahun itu tak hanya menyoroti dampak ekologi dan kesehatan adanya sampah dari negara lain ke Indonesia.
Juru bicara pemerintah juga menjelaskan, Canberra pun mempertimbangkan menghapus kemasan plastik sekali pakai dan berbahaya.
Karena itu, Australia mengaku mendukung langkah Indonesia mengurangi sampah laut hingga 20 persen, dan sampah darat hingga 30 persen.
Dalam laporan Reuters, Indonesia mengimpir 283.000 ton pada 2018, atau setara dengan berat rata-rata 123 ekor badak putih.
Pada 2019, aktivis lingkungan Ecoton menuduh Canberra menyelundupkan sampah plastik dan kertas dalam jumlah besar.
Oleh masyarakat di sejumlah tempat di Jawa Timur, bisnis pengolahan sampah pun muncul demi mendongkrak perekonomian mereka.
Seperti usaha yang dikelola Eko Wahyudi. Dilansir LA Times, dia mengaku pernah mempunyai 20 pegawai dengan rerata upah harian 3,5 dollar AS atau Rp 47.800 per hari.
Setelah itu, sampah yang tak bisa didaur ulang seperti plastik bakal dikirim sebagai bahan bakar di pabrik pembuatan tahu.
"Sampah dari negara asing berarti ada pekerjaan di sini. Semua orang bergantung pada industri ini, baik kaya maupun miskin," ucap Eko.

Kirim surat kepada Jerman dan Trump
Selain kepada PM Australia Morrison, Nina diketahui juga mengirim surat serupa kepada Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden AS Donald Trump.
"Mengapa Jerman mengirim sampah itu ke Indonesia? Saya ingin masa depan saya lebih baik. Saya ingin Indonesia bersih," kata Nina dalam suratnya kepada Merkel.
Kepada Merkel, Nina bercerita bagaimana dia pernah membeli ikan yang ketika dibuka perutnya, dia menemukan sampah.
Sementara kepada Trump, Nina menulis sampah yang diekspor oleh AS sudah membuat sungainya "sangat kotor dan bau".
"Mengapa kalian selalu mengirim sampah ke negara saya? Mengapa tidak kalian kelola sendiri?" keluh Nina di suratnya.
Dari surat yang dia kirimkan, salah satunya mendapatkan balasan audiensi dari Duta Besar Jerman, Peter Schoof, pada awal Januari.