Asap Karhutla Australia Sudah Sampai di Amerika, Indonesia Masih Aman Kiriman Asap
Asap kebakaran hutan di Australia telah menyeberangi Samudera Pasifik hingga mencapai Benua Amerika
TRIBUNSUMSEL.COM - Asap kebakaran hutan di Australia telah menyeberangi Samudera Pasifik hingga mencapai Benua Amerika.
Arah aliran “polar jet stream” yang dominan ke arah timur membuat wilayah Indonesia relatif aman dari asap kebakaran ini.
Lembaga Antariksa dan Penerbangan Amerika (The National Aeronautics and Space Administration/NASA) telah memperingatkan, kebakaran hutan di Australia tak hanya menyebabkan kerusakan secara lokal.
Hal ini juga akan memengaruhi kondisi atmosfer secara global.
Analisis NASA yang dipublikasikan pada Jumat (10/1/2020) pekan lalu ini menyebutkan, kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang meliputi panas membakar dalam skala luas dikombinasikan dengan kekeringan ekstrem, telah menyebabkan pembentukan pyrocumulonimbus (pyroCb).
Fenomena pyroCb pada dasarnya adalah badai petir yang disebabkan api. Mereka dipicu oleh pengangkatan abu, asap, dan bahan pembakaran yang sangat panas.
Saat bahan-bahan ini dingin, terbentuk awan yang berperilaku seperti badai petir biasa tetapi tanpa disertai hujan.
Kebakaran hutan bisa terjadi kapan saja di Australia, tetapi puncak musim kebakaran hutan berbeda-beda di tiap-tiap wilayah. Bencana kebakaran kali ini, menurut ahli, terjadi di luar perkiraan.
“Badai pyroCb ini menjadi medium bagi asap untuk mencapai stratosfer lebih dari 10 mil (16 km) di ketinggian.
Begitu berada di stratosfer, asap dapat menempuh jarak ribuan mil dari sumbernya sehingga memengaruhi kondisi atmosfer secara global,” demikian keterangan NASA.
Badai pyroCb ini menjadi medium bagi asap untuk mencapai stratosfer lebih dari 10 mil (16 km) di ketinggian.
Begitu berada di stratosfer, asap dapat menempuh jarak ribuan mil dari sumbernya.
Dengan cara ini, asap kebakaran di Australia memberi dampak yang dramatis di Selandia Baru, menyebabkan masalah kualitas udara yang parah di seluruh wilayah tersebut, dan salju di puncak gunung yang menghitam karena jelaga.
Selain di luar Selandia Baru, pada 8 Januari, berdasarkan observasi data satelit, NASA telah mendeteksi asap dari Australia telah menyebar hingga di atas Amerika Selatan.
Asap ini telah mengubah langit menjadi kabur dan menyebabkan cahaya matahari terbit dan matahari terbenam menjadi berwarna-warni. Asap itu diperkirakan bakal mengelilingi seluruh dunia, sebelum i kembali ke langit di atas Australia.
Menyikapi kondisi ini, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah menganalisis kemungkinan dampak asap kebakaran dari Australia ini ke Indonesia.
Hasilnya, menurut Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal, yang dipaparkan pada Jumat (17/1/2020), kemungkinan kecil asap akan secara langsung menyebar ke wilayah Indonesia.
Menurut dia, analisis kondisi dinamika atmosfer pada awal hingga pertengahan Januari 2020 menunjukkan, pergerakan penyebaran asap dominan terjadi di belahan bumi selatan.
Asap ini menyebar dari Australia ke arah timur karena dipengaruhi oleh “polar jet stream”, yaitu aliran angin kencang pada sekitar 60 derajat Lintang Selatan dengan kecepatan lebih dari 100 kilometer per jam, yang bergerak konsisten ke arah timur.
Fenomena “polar jet stream” inilah yang telah membawa asap kebakaran hutan Australia menyeberangi Samudra Pasifik bagian selatan pada ketinggian atmosfer sekitar 16 km, dan menyebar sampai ke negara Benua Amerika bagian selatan, antara lain Chili, Argentina, dan Uruguay.
“Hingga akhir Januari 2020, diperkirakan “polar jet stream” masih cukup kuat, sehingga potensi penyebaran asap masih dominan ke arah timur sehingga Indonesia relatif aman dari dampaknya,” kata dia.
Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto menambahkan, jika konsentrasi pyroCb terus bertambah, secara teoritis bisa menyelimuti stratosfer.
Dampaknya, secara global temperatur rata-rata dunia bisa turun secara drastis karena selimut partikel polutan dapat menyerap radiasi matahari sehingga intensitasnya di Bumi berkurang.
“Ini pernah terjadi pada tahun 1816, di mana temperatur bumi turun 0,4 – 0,7 derajat celcius setelah letusan Gunung Tambora pada April 1815. Tetapi, jumlah partikel dari kebakaran hutan ini diperkirakan tak akan sesignifikan material dari letusan besar gunung api. Jadi, dampaknya akan berbeda,” kata Siswanto.
Kebakaran hutan di Australia telah menewaskan 28 orang, termasuk 4 pemadam kebakaran, dan menghancurkan lebih dari 1.700 rumah di New South Wales, Victoria dan Australia Selatan.
Hingga 8 Januari 2020, total area yang terbakar diperkirakan lebih dari 10 juta hektar, lebih besar dari total wilayah Korea Selatan, atau Portugal, dan hampir 1,3 kali ukuran Skotlandia.
Selain menimbulkan kerugian bagi manusia, kebakaran hutan ini membunuh jutaan fauna di Australia dan mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
