Pilkada Serentak 2020
Hitung-hitungan Keterpilihan Perempuan di Pilkada Serentak 2020, Ini Analisis Perludem
Saat perempuan diberi kesempatan, mereka punya daya tahan yang sama baiknya untuk memenangi pemilihan.
Penulis: Arief Basuki Rohekan | Editor: Wawan Perdana
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Perkumpulan untuk Permilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, peluang keterpilihan perempuan makin baik dari perjalanan Pilkada ke Pilkada selama ini.
Meski jauh dari target, menurut Direktur Perludem Titi Anggraini, saat ini di Indonesia ada sudah ada 1 Gubernur perempuan (Jatim) dan 3 wakil gubernur perempuan (Lampung, NTB, Sulbar), dan belum tingkat Kabupaten/ kota.
"Di Pilkada tidak ada kebijakan afirmasi bagi perempuan, pertarungannya benar-benar bebas. Perempuan harus bersaing penuh dengan semua kader partai."
"Sehingga, pertimbangan partai semata pada elektabilitas, dan kemampuan calon untuk memenangi kompetisi," kata Titi, Minggu (7/12/2019).
Diungkapkan Titi, modal tentu juga jadi pertimbangan.
• Partai Golkar Anggap Mantan Napi Korupsi Berhak Maju Pilkada
Namun saat perempuan diberi kesempatan, mereka punya daya tahan yang sama baiknya untuk memenangi pemilihan.
"Maka yang diperlukan, adalah itikad baik partai untuk mau memberi kesempatan perempuan maju, dan bertarung di kontastasi pilkada," ucapnya.
Ditambahkan wanita asal Sumsel yang sering jadi narsum di tingkat nasional ini, pencalonan Pilkada harus diakui lebih berat daripada pencalonan pemilu legislatif.
Selain tidak ada kebijakan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan, kursi yang diperebutkan di pilkada juga, sangat sedikit.
Hanya dua posisi di setiap daerah, kepala dan wakil kepala daerah.
"Belum lagi tiket pencalonan yang harus diperoleh berjenjang, bahkan sampai ke tingkat DPP. Tidak mungkin tanpa rekomendasi pengurus pusat."
"Karena prosesnya panjang dan mahal, kader perempuan parpol tentu makin sulit bersaing," bebernya.
• Mengenal Sosok Devi Harianto, Maju Pilkada PALI 2020 Ingin Membawa Perubahan
Selain itu diterangkan Titi, parpol pun cenderung pragmatis.
Kalau tidak punya elektabilitas tinggi, dan kekuatan modal maka cenderung sulit untuk dilirik.
"Jadi, lagi- lagi semua bergantung pada komitmen, dan keberpihakan partai untuk mau memberi kesempatan," tandasnya.
Sementara Akademisi program Ilmu Pemerintahan di Universitas Taman Siswa, Aris Munandar MSi mengungkapkan, pola peningkatan elektabiltas kandidat sekarang berubah.