Miris, Kisah Siswa & Siswi Madrasah Belajar di Gubuk Reyot dan Pinggir Kuburan di Pamekasan

Miris, Kisah Siswa & Siswi Madrasah Belajar di Gubuk Reyot dan Pinggir Kuburan di Pamekasan

(KOMPAS.com/TAUFIQURRAHMAN)
Murid-murid MI Misbahussudur, Desa Banyupelle, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan belajar di kelas yang terbuat dari kayu dan gedek yang sudah reot, Senin (23/9/2019). Ada pula yang belajar di pinggir kuburan umum desa setempat karena ruang kelas tidak cukup. 

Ramo yang juga Kepala Madrasah menjelaskan, kelas yang sudah reyot itu ditempati belajar dari berbagai jenjang pendidikan.

Pada pukul 07.00-09.00 WIB, ruangan ditempati belajar untuk murid Raudatul Atfal (RA) atau setingkat taman kanak-kanak (TK).

Setelah kelas RA pulang, baru kelas itu gantian diisi oleh murid-murid dari kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI).

"Kalau kelas ditempati RA, sementara waktu yang kelas MI belajar di sebelahnya kuburan umum yang kebetulan ada suraunya," kata Ramo saat dijumpai di sekolahnya.

Kisah AKBP Arsal Sabhan Kapolres Lumajang Berikan Gaji ke Warga Berhasil Tangkap Pencuri dan Begal

Ruang kelas di lembaga yang didirikan oleh Kiai Nasiruddin pada 1986 itu, sangat berkekurangan.

Dari 119 jumlah murid yang ada, hanya ada 5 ruang kelas. Itupun masih dikurangi kantor sekolah dan ruang guru.

Akibat kekurangan kelas itu, tempat belajar murid-murid sering berpindah-pindah.

"Meskipun di pinggir kuburan, kita tetap mengajar. Kelas yang ada tidak cukup. Yang adapun, sebagian sudah bangunan tua dari kayu yang mulai reyot," ujar dia.

Khairul Umam, salah satu murid MI mengaku tidak nyaman belajar di kelas yang dindingnya sudah bolong-bolong. Kalau musim kemarau kepanasan.

Sedangkan, di musim hujan, airnya masuk ke dalam kelas.

"Panas sekali kelas ini. Kalau musim hujan, kelasnya basah dan tidak bisa belajar," kata Khairul Umam.

Kiai Nasiruddin, pengasuh lembaga pendidikan Misbahussudur mengatakan, pihaknya ingin segera merobohkan kelas tersebut, karena usianya sudah sangat tua dan tidak nyaman bagi para murid.

Namun, keinginan itu tidak terwujud, karena tidak ada biaya untuk membangunnya.

"Kalau tidak ada biaya, biar pakai yang ada saja. Siapa tahu Allah segera memberi rezeki untuk bisa membangun," kata Nasiruddin.

Kiai yang pernah belajar di pondok pesantren Miftahul Ulum Karang Durin, Kabupaten Sampang ini, tidak tega untuk memungut sumbangan kepada murid dan wali murid untuk membangun ruang kelas.

Halaman
123
Sumber: Kompas
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved