Cerita Khas Palembang
Sejarah Lengkap Pembangunan Jembatan Ampera Palembang, Ide Muncul Sejak Zaman Belanda
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Datang ke Palembang rasanya belum lengkap apabila belum foto dengan latar Jembatan Ampera
Penulis: Weni Wahyuny |
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Datang ke Palembang rasanya belum lengkap apabila belum foto dengan latar Jembatan Ampera.
Begitulah anggapan banyak orang tentang ikon khas Palembang Jembatan Ampera.
Jembatan yang terbentang di atas Sungai Musi kota Palembang ini tak pernah sepi.
Selain sebagai tempat melintas warga dari Seberang Ulu ke Ilir maupun sebaliknya, juga menjadi tempat wisata.
Apalagi saat ini ditambah dengan fasilitas kursi di atas jembatan membuat tempat tersebut semakin menyedot minat warga untuk bersantai menghabiskan waktu luang.
Jembatan yang awalnya bernama Jembatan Musi itu memiliki sejarah panjang/
Pemerhati Sejarah Kota Palembang, Rd Muhammad Ikhsan menjelaskan, Jembatan Ampera adalah monumen tentang upaya mengakomodir kepentingan pusat dan daerah.

Salah satu kepentingan pusat seperti yang dimaksudkan oleh Bung Karno setelah adanya serangkaian proposal proyek pampasan perang dari Jepang yang disetujui adalah bagaimana solusi transportasi moda angkutan via sungai yang harus melewati jembatan tersebut.
Rancangan jembatan tersebut menyurat dan menyiratkan pertemuan kepentingan nasional akan pasokan barang ke luar masuk Palembang sebagai sebuah kota yang hendak berkembang.
"Ternyata rancangan teknik seperti ini membuat jembatan Ampera begitu unik dan menawan," katanya.
Penulis buku 'Palembang dari Waktoe ke Waktu' ini menjelaskan bahwa sebelum dilakukan peletakan batu pertama pada April 1962, gagasan untuk membangun jembatan ini sudah tercetus lama.
Pada 1924 muncul ide dari J Le Cocq d Armand De Ville yang merupakan walikota praja atau De Burgermester van Palembang.
"Gagasan itu timbul karena melihat tingginya arus hilir mudik masyarakat dari daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir," ungkapnya.
Karena ide ini belum terwujud, pada masa walikota praja selanjutnya yakni Ir R C AF J Nessel Van Lissa disediakanlah motor penyeberangan.
Moda ini dalam tutur masyarakat kota Palembang sebagai kapal Marie yang titik standarnya di kawasan kampung 16 Ilir dan kampung 10 Ulu.
Pada masa itu, jelas Ikhsan selain kapak Marie, sarana angkutan sungai Musi lainnya hingga ke wilayah Batanghari Sembilan adalah perahu kajangan dan kapal roda lambung yang merupakan kapal uap yang digerakkan roda yang berada di belakang atau di samping badan kapal.
"Semangat membangun jembatan Musi atau Ampera ini kemudian ada kembali di awal kemerdekaan RI pada masa pemerintahan Walikota HM Ali Amin pada 1956," terangnya.
Pada waktu itu Palembang sangat berharap pada bantuan karena jembatan Musi sebagai proyek yang meningkatkan kelancaran hubungan lalu lintas darat antar kedua tepi sungai Musi di kampung 10 Ulu dan 16 Ilir.
Setelah perjuangan yang cukup panjang untuk mendapatkan bantuan pembangunan jembatan ini maka Walikota H M Ali Amin dibantu oleh Gubernur Sumsel, penguasa perang Panglima Kodam IV Sriwijaya dan lain sebagainya memperjuangkan pembangunan ini.
Akhirnya Presiden Soekarno menyetujui pembangunan Jembatan Musi tersebut sebagai proyek pusat yang dananya ditanggung oleh pampasan perang Jepang.
Sementara Pemerintah Kota Palembang ditugaskan menaksir dan menyelesaikan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan.
"Pada proses pembangunan jembatan ini titik lokasinya menimbulkan perbedaan antar Pemerintah pusat dan kota," jelasnya.
Pemerintah pusat, lanjut Ikhsan meletakkannya secara makro dengan menjadikannya sebagai jalan bypass dalam mengadakan hubungan antar kota tanpa masuk dan melalui kota.
Pertimbangannya untuk menjaga lalu lintas kapal pengangkut pasokan batubara Kertapati yang akan terhalang jika Jembatan Musi dibangun di tengah kota.
Sementara Pemkot meletakkan masalahnya kepada keruwetan lalu lintas penyeberangan melalui sarana kapal Marie yang makin tidak mencukupi.
• Sejarah Sekojo Palembang, Pernah Jadi Landasan Pacu dan Nama Berasal dari Bunga Jepang
"Akhirnya pilihan lokasi ditetapkan di tempat kapal penyeberangan 10 Ulu-16 Ilir sedangkan masalah lalu lintas kapal diakomodasi dengan menjadikan jembatan Musi sebagai jembatan gantung," terangnya.
Setelah dikerjakan siang dan malam sejak April 1962, pada bulan Mei 1965 proyek Jembatan Musi selesai dibangun.
Sejak tanggal 10 November 1965 dibuka untuk lalu lintas umum dan diresmikannya dengan nama Jembatan Bung Karno.
Begitu besarnya proyek pembangunan ini di mata masyarakat lokal hingga kni sebagian masyarakat Palembang masih tetap menyebutnya sebagai Jeramba Proyek.
Ikhsan menerangkan menurut catatan sejarah yang ditemukan di ruang siber, proyek Jembatan Musi yang menelan biaya US $ 11.782.000 ini termasuk proyek pampasan perang yang selesai dan berjalan secara efisien.
selain jembatan Musi, juga ada beberapa proyek pampasan perang Jepang.
Sementara jembatan Musi termasuk dalam kategori transportasi dan pertambangan dalam perjanjian pampasan tahun 1958.
Tidak banyak kota di luar Jawa yang kebagian proyek pampasan perang Jepang.
Penderitaan rakyat Palembang di masa Perang Asia Timur Raya agaknya yang menjadi pertimbangan penting meletakkan proyek tersebut di atas alur padat sungai Musi.
pada tahun 1966 terjadi pergolakan gerakan Anti-Soekarno, Nama jembatan yang mengambil dari Nama Presiden RI pun di Rubah menjadi Jembatan Ampera yang artinya Amanat Penderitaan Rakyat.
Jembatan Ampera yang memiliki panjang total 1.117 meter dan lebar 22 meter serta 63 meter.