Emha Ainun Najib, Rasionalitas Sang Kiai Mbeling yang Berani Bicara Blak-blakan

Emha Ainun Najib, Rasionalitas Kiai Mbeling yang Suka Blak-blakan Emha Ainun Najib dikenal sebagai kiai yang berani bicara blak-blakan.

Dokumentasi Panitia 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor
Budayawan Emha Ainun Nadjib saat tampil bersama Kiai Kanjeng memeriahkan Peringatan 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor di lapangan sepak bola pondok, Desa Gontor, Ponoro, Jawa Timur, Rabu (31/8/2016) malam. 

Orang yang berpenyakit jantung pun belum tentu jantungnya yang sakit. "Itu terjadi karena letak dan fungsi jantungnya tidak terakomodasikan oleh tatanan wadahnya."

Begitu juga masalah kolesterol. Menurut Cak Nun, kolesterol tinggi kasusnya tidak hanya disebabkan oleh kolesterolnya, melainkan menurunnya kemampuan peralatan badan tertentu, terhadap kadar kewajaran fungsi kolesterol.

Pada penyakit kanker pun demikian. Belum tentu kasus utamanya adalah serbuan virus, tapi bisa saja berasal dari ketidaksanggupan mekanisme fungsi dan daya tahan bagian tubuh tertentu, yang menjadi rentan oleh virus.

Bahkan, ketika bicara soal AIDS dan virus HIV pun ia menyarankan, "Harus dipertanyakan dulu penekanan kasusnya, apakah pada virusnya atau pada degradasi daya tahan pasien."

Pasalnya, kata Cak Nun, ketika jiwa membiarkan over fungsi pada rasa dengki, cemburu, kecengengan, kebodohan, kekerdilan, maka ibaratnya, angin bertiup saja sudah bisa menjadi penyakit.

Berbagi tugas dengan Tuhan

Ketika menukik ke masalah penyakit yang berhubungan dengan jiwa, raut muka Emha tampak lebih serius. Menurut pandangannya, penyakit kejiwaan seperti stres, depresi, paranoid, dan sebagainya berasal dari perlawanan hati manusia terhadap kewajaran hidupnya.  la memastikan, jiwa manusia pasti kalah dalam peperangan itu.

Di sisi lain, pikiran manusia tidak membawa dirinya pada peletakan diri di titik koordinat nilai hidup yang paling sehat.

"Hati manusia tidak bekerja sama dengan konsep pikirannya dalam menentukan ke mana ia memandang, apa yang harus ia kejar dan jangan dikejar, apa yang primer dan sekunder, apa yang semestinya disembah secara total dan apa yang silakan disepelekan saja," jelasnya.

Diakui oleh Emha, setiap orang belajar sendiri mengelola akal dan jiwa. Tidak ada institusi pendidikan yang memandu akal dan jiwa manusia untuk mengerti secara tepat alamat kehidupannya, luas sempit semesta tempat tinggalnya, pola-pola hubungannya dengan dunia luar dan dengan dirinya sendiri.

Yang disebut dunia luar, bukan hanya masyarakat, tapi bisa juga alam semesta dan Tuhan.

Tentang keikutsertaan-Nya dalam kehidupan manusia, Emha mengambil perumpamaan amat sederhana, yakni kehidupan perkawinan. la bilang, kalau seseorang kawin dan yang hadir hanya dua keluarga serta sejumlah handai taulan, maka hanya sebegitu pula luasnya semesta pernikahan orang itu.

Sekaligus hanya sesedikit itu pula orang yang akan menolongnya ketika bahtera rumah tangga kacau balau.

Namun, tambah Emha, kalau dalam perkawinan itu juga "mengundang" Tuhan hadir, maka rumah perkawinan akan terbuka luas, seluas alam semesta milik Tuhan yang tiada duanya.

Bahkan para malaikat ikut rela turun tangan menjadi pelindung rumah tangga itu. Apa yang tak mungkin bisa menjadi mungkin, karena adanya Tuhan dalam rumah tangga.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved