Digagas Prabowo Subianto, Kisah Ekspedisi Everest 97 Berjuang Capai Puncak Setelah Injak Mayat
Pernyataan Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno Mardani Ali Sera
Menurut Muji, dirinya terpilih sebagai anggota tim karena kondisi fisiknya yang prima. Bujangan asal Malang (Jatim) ini juga kerap menjuarai lomba lari araton, nasional maupun internasional.
"Sebagai anak petani di desa, naik turun gunung sudah biasa saya lakukan waktu kecil. Bahkan saya berangkat ke sekolah dengan berlari," kenang Muji yang bercita-cita mengulang pendakian dari jalur Utara.
Makan Leci Hangat
Sedianya, Sertu Misirin-lah yang direncanakan mengibarkan bendera. Namun, pada ketinggian 8.823 meter, Misirin sudah setengah sadar. "Pandangan saya gelap, enggak melihat apa-apa. Samar-samar cuma saya dengar suara Muji yang mendahului saya," kisah pria asal Ponorogo (Jatim) ini.
Oleh pelatih pun, Misirin diminta turun. "Tapi saya teringat kata-kata Lettu Iwan, 'Mati pun, kita siap. Ingat kejayaan bangsamu saat naik, dan ingat keluargamu saat turun'," lanjutnya.
Semangat Misirin kembali terpacu. Setelah istirahat sejenak dan makan permen untuk memasok energi, "Saya pelan-pelan maju lagi sambil terus berdoa. Malu rasanya kalau saya pulang gagal."
Setelah Muji, Misirin pun tiba di puncak, disusul Iwan. "Kami semua tak henti menyebut asma Allah. Sayang, kami tak sempat menyanyikan Padamu Negeri karena kabut dan angin kencang mulai datang. Kami hams segera turun," ungkapnya.
Berada di puncak tertinggi dunia tak pernah terbayangkan oleh Misirin sebelumnya. "Cita-cita saya dulu cuma masuk ABRI. Makanya, begitu diterima jadi tamtama tahun 87, saya sudah senang.
Apalagi setelah masuk Kopassus. Di sinilah saya terpilih sebagai tim pendaki gunung karena dinilai mampu. Sebelum ini, saya pernah mencapai puncak Mandala di Irian Jaya," paparnya.
Sekalipun berpengalaman mendaki, banyak kendala baru dialami Misirin dalam ekspedisi Everest ini. Misalnya, di ketinggian 6.000 meter, saat oksigen menipis dan suhu anjlok drastis, ia mendadak kehilangan nafsu makan.
Apa saja yang ditelannya selalu dimuntahkan. Kelainan itu juga dialami Muji dan Iwan. "Selain lemas, kepala rasanya kayak dibor," kata Misirin yang kemudian banyak-banyak minum teh manis hangat agar suplai tenaga tetap terjaga.
Saat mencapai ketinggian 7.000 meter, "Berat badan saya sudah turun dari 70 kilo jadi 63 kilo karena tiga hari enggak makan apa-apa. Akhimya, saya paksakan makan buah leci hangat sampai tiga malam berikutnya." Selain menyantap leci, "Kami juga makan vitamin dalam dosis ringan."
Perjalanan pulang pun tak kalah berbahayanya. "Di ketinggian 8.500 meter, kami terpaksa bermalam karena terhadang badai salju. Sementara persediaan oksigen tinggal dua tabung. Terpaksalah kami sibuk membagi rata oksigen," cerita Misirin.
Di situlah, Misirin nyaris tewas kehabisan oksigen. "Rasanya saya sudah di ambang hidup dan mati," ujarnya. Saat itulah, Misirin mengaku melihat wajah dan mendengar suara istri dan anaknya, Andayati (27) dan Jojo Irwantoro (4).
Semangat hidup Misirin mendadak bangkit. Saat itu, nun jauh di seberang samudera, Andayati tengah memanjatkan doa bagi keselamatan suaminya.