Berita Selebriti

Kembali Calonkan Diri, Ini Jargon Pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin di Pilpres 2019

Pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Jumat (10/8/2018).

kolase/net
Jokowi dan KH Ma'ruf AMin 

Tren busana ini menyebar dengan cepat, karena banyaknya sekolah kolonial yang dibuka selama dekade pertama abad ke 20, tepatnya sejak penerapan politik etis Belanda.

Sejak saat itu, pria pribumi biasanya mengenakan celana panjang dengan topi.

Berdasarkan memoar yang ditulis Pangeran Djajadiningrat dari Kesultanan Banten, sampai sekitar tahun 1902, masyarakat Jawa masih memakai sarung, jas model Jawa dan kain tutup kepala yang disebut destar.

Mereka juga tidak memakai sepatu sebagai alas kaki, melainkan sandal kain. Namun, generasi tua tidak menyukai adanya perubahan dalam gaya berbusana ini.

Mereka beranggapan jika Jawa dan sarung adalah dua hal yang telah lama ada dan tak dapat dipisahkan.

Di sisi lain, banyak orang Jawa berusia muda yang mengenyam pendidikan Barat sehingga celana telah dianggap sebagai simbol kemajuan, kebebasan, dan modernitas.

Para pedagang pun tertarik dengan tren dan merasa pemakaian celana meringankan hubungan bisnis dengan orang Eropa dan Tionghoa.

Sekitar tahun 1910, seorang pengusaha dari Batam bernama Haji Muhammad menyatakan, sarung dan turban tak lagi efisien dipakai di tempat kerja.

Akhirnya, ia mengganti pakaiannya dengan celana panjang, jaket, kopiah dan sepatu.

Gaya berpakaian seperti itu diklaim mempermudah untuk berurusan dengan mitra bisnis yang sebagian besar orang asing.

Lambat laun, sarung pun dianggap sebagai pakaian yang ketinggalan zaman.

Namun, beberapa daerah di Jawa Timur seperti Gresik dan Pasuruan, masih menganggap sarung sebagai elemen penting dari pakaian pria.

Oleh beberapa pria, sarung masih digunakan ketika menghadiri momen tertentu seperti menghadiri shalat Jum'at, pesta pernikahan, atau khitanan.

Di beberapa daerah, pemakaian sarung masih dianggap sebagai simbol status. Meski sarung lebih sering dipakai di daerah Jawa Timur, hampir di setiap rumah penduduk Indonesia pasti menyimpan sarung.

Bagi umat Islam, sarung biasanya dipakai untuk beribadah. Beberapa orang juga memakainya sebagai selimut atau ayunan untuk bayi yang baru lahir.

Para pria yang melakukan patroli untuk menjaga keamanan desa di malam hari juga kerap memakainya sebagai penghalau dinginnya angin malam.

Biasanya pula, selain uang, makanan dan obat-obatan, masyarakat juga menyediakan sarung sebagai selimut untuk bantuan korban bencana.

Saat tragedi kerusuhan antar etnis di Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan tengah, misalnya, mantan Presiden Abdurachman Wahid menyumbangkan 8.000 sarung kepada para pengungsi.

Selain itu, sarung juga menjadi pakaian yang identik dengan momen membahagiakan seperti Idul Fitri.

Ini terbukti dengan meningkatnya angka penjualan sarung pada momen lebaran.

Sarung, yang dianggap sebagai pakaian kelas bawah, kini kembali diangkat oleh perangcang Indonesia sebagai identitas nasional lewat kreasinya.

Para desainer kenamaan Indonesia, seperti Iwan Tirta, Ghea Panggabean, Asmoro Damais, Afif Syakur dan Carmanita, telah menyesuaikan dan mendaur ulang banyak motif dari seluruh Indonesia.

Tak jarang, sarung juga menjadi dress code pada pesta mewah dan menjelma menjadi sesuatu yang eksotis dan modis.

Sarung nampaknya telah menjadi pakaian yang menyatukan seluruh Bangsa Indonesia.

Kini, pakaian ini dapat ditemukan di seluruh Nusantara dan dipakai oleh seluruh lapisan masyarakat.

Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Ini Kemeja Ikon (Trade Mark) Jokowi di Pilpres 2019, Mau? Tenang Bakal Diperbanyak Partai Pengusung, http://medan.tribunnews.com/2018/08/10/ini-kemeja-ikon-trade-mark-jokowi-di-pilpres-2019-mau-tenang-bakal-diperbanyak-partai-pengusung?page=all.

Editor: Tariden Turnip

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved